Hai!
Maaf, sudah lama aku tidak menghubungimu. Awalnya aku berencana mengirim surat untukmu di penghujung Desember tahun lalu. Atau, setidaknya di malam tanggal 6 Januari, hari yang selalu kamu tunggu-tunggu lebih dari apa pun.Â
Jangan protes karena aku baru menulisnya sekarang. Kamu saja pernah tidak memberiku kabar sampai setengah tahun penuh, kan?
Omong-omong, sekarang sudah pukul satu pagi di sini.
Aku tidak penasaran kamu sedang apa di jam-jam begini. Aku tahu, tak seperti dulu-dulu, akhir-akhir ini kamu sering kesulitan untuk tidur. Jadi kamu pasti masih bekerja.Â
Mungkin masih meneliti tugas-tugas kantor yang harus kamu presentasikan besok Senin. Dulu kamu sering bercerita kepadaku: kamu benci sekali dengan pekerjaanmu.Â
Akhir-akhir ini sudah tidak pernah kamu ceritakan lagi soal itu. Entah karena kamu sudah mulai bisa menerima pekerjaanmu atau mungkin kamu cuma malu kalau harus terus-terusan menceritakan hal yang sama kepadaku.Â
Menilik tingginya harga dirimu, kamu mungkin malu kalau terus mengeluhkan pekerjaanmu, padahal kamu sendiri tidak berani mencoba yang baru. Aku benar, kan? Kadang-kadang kamu lucu. Kamu sering merasa terkurung, padahal sebenarnya kamu sendiri yang tidak berani keluar kandang.
...
Sekarang kamu pasti mulai kesal. Kamu pasti mulai bergumam sendiri menyumpahiku, sekaligus heran kenapa di setiap pembicaraan kita, aku selalu berakhir menceramahimu.Â