Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jejak (Prolog)

2 Mei 2020   20:17 Diperbarui: 6 Juni 2020   06:11 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahu tidak, Bi? Aku selalu merasa sebegitu bersyukurnya punya kamu. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku tidak menemukanmu. Kamu kan tahu sendiri, kita akhirnya saling menemukan setelah lama sekali berpetualang ke sana-ke mari. Kita akhirnya saling menemukan setelah sama-sama hampir putus harapan. Mungkin tidak ada yang menyangka, tapi terkadang aku takut memikirkan kalau-kalau aku harus hidup dan menua sendirian.

"Bukannya kamu memang suka sendirian?" kamu bertanya, masih sambil tiduran di sofa dan iseng membolak-balik buku yang sudah hampir sebulan penuh kamu baca---tapi tak habis-habis juga walaupun isinya tipis saja.

"Tapi aku takut mati sendirian, Bi."

"Ada aku pun, kamu akan tetap mati sendirian. Memangnya aku mau mati sama-sama kamu?" candaan yang kamu lontarkan sambil nyengir lebar malah membuatku berpikir. Iya juga ya, Bi. Dying is a solo experience, and so is living. "Lagi pula, kamu juga menolak lamaranku," kamu melanjutkan, masih dengan nada bercandamu. Aku enggan menanggapi. Kamu lebih tahu dari siapa pun kenapa aku tidak menerima lamaranmu waktu itu.

"Za, ah! Kebiasaan deh, kebanyakan mikir kamu!" kamu santai seperti biasa, hanya tertawa menanggapi wajah seriusku. Salah satu dari sekian banyak hal yang kusuka dari kamu: kamu selalu sabar menghadapi aku yang sering panik karena berbagai-bagai alasan kecil hingga besar.

Ingat? Bertahun-tahun lalu, waktu aku menangis berhari-hari di pojok kamar kost kecilku semasa kuliah, kamu orang pertama yang membuka pintu kamarku sambil tersenyum. Kamu orang pertama yang cuma duduk di sebelahku, diam di sampingku berjam-jam sampai aku mau bicara. Kamu orang pertama yang tidak memaksaku bercerita, yang merasa cukup cuma dengan duduk diam menemani alih-alih harus bertanya soal apa yang sebenarnya terjadi. Kalau dipikir-pikir, Bi, kamu memang selalu jadi orang pertama dalam hidupku. Kamu adalah teman laki-laki pertama yang aku punya. Kamu juga laki-laki pertama yang melamarku. 

...

"Rangkai bunga buat siapa lagi? Pesanan?" 

Kamu meletakkan buku bacaanmu di sofa, beralih duduk di kursi di sampingku. Aku tahu, jahilmu pasti akan kumat sebentar lagi. Kamu tidak suka bunga. Kamu selalu heran mengapa aku bisa suka bunga, bahkan sampai rela membuka toko bunga kecil di tengah kota dengan modal yang kukumpulkan dari uang hasil kerjaku jadi karyawan kantoran selama hampir setahun penuh.

Itu pun masih harus ditambah dengan uang tabunganku, ditambah lagi dengan uang hasil menulis ini atau itu. Aku masih ingat, kamu cuma ber-oh pelan waktu kujelaskan alasanku membuka toko bunga. Kamu yang mau protes dengan keputusanku mengakhiri karier yang sedang naik-naiknya di kantor dulu akhirnya cuma menepuk pundakku. Tersenyum. Getir dan sendu.

"Masa iya bunga ini dirangkai bareng sama bunga itu dan itu?" katamu sambil menunjuk-nunjuk bunga yang sedang kurangkai di meja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun