Mohon tunggu...
Karimatus Sahrozat
Karimatus Sahrozat Mohon Tunggu... Editor - Writer, Editor

Smile. It will bring you luck.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Sisa Lebaran

19 Juni 2019   17:27 Diperbarui: 19 Juni 2019   17:33 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
shoutsfromtheabyss.com

Namaku Karima. Kebanyakan orang, simpel saja, biasa memanggilku Rima. Sementara beberapa orang, entah kenapa, lebih suka memanggilku Riri. Dia contohnya. Dan lebih dari sebagian cerita ini adalah tentangnya, meski beberapa tetap tentangku. Namanya Irwan: lelaki berkemeja biru yang sekarang sedang tersenyum kepadaku, di sampingku.

Malam Lebaran.

5 Juni 2019.

20.09.

"Dulu Mama ketawa waktu aku cerita kalau aku nangis gara-gara kamu kirim surat itu,"

Dia tersenyum, mengenang cerita lama.

Mau kuberi tahu sesuatu? Aku mengenalnya belasan tahun lalu, saat kami sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Dan aku menyukainya entah dengan alasan apa. Jadi, mengikuti sinetron yang kutonton setiap pulang sekolah, aku menulis surat untuknya. Aku tidak ingat detailnya, tapi kurasa aku mengajaknya menikah di surat itu (astaga!).

Surat itu kutulis di atas kertas berwarna merah muda dengan gambar hati di pinggirnya---kertas milik kakakku yang terpaksa diberikan kepadaku setelah aku merajuk dan mengadu kepada Mama. Waktu keesokan harinya kuberikan surat itu kepadanya, teman-teman sekelasnya menyorakinya dan gara-gara itu dia menangis bahkan sebelum membaca isi suratku. Aku dipanggil ke ruang guru kemudian, dimarahi habis-habisan. Dia ada di sana bersamaku, berdiri, makin tersedu melihatku dimarahi.

Kejadian itu membuatku tidak pernah lagi menyapanya. Untungnya dia menyapaku lebih dulu kemudian: setelah kami masuk kelas dua SMP. Kebetulan kami bersekolah di SMP yang sama di kecamatan. Dia terkadang memberiku tumpangan, memboncengku dengan sepeda ontel tuanya. Kami lulus pada tahun yang sama, tapi melanjutkan ke sekolah yang berbeda.

Dia tetap masih sering mampir ke rumahku sepulang sekolah. Aku ingat sekali wajah pucatnya setiap kali berhadapan dengan wajah galak Papa yang menanyai alasannya datang ke rumah. Aku mungkin juga tidak akan pernah lupa dengan alasan-alasan konyol yang dia sampaikan. Beberapa kali setelah dia pulang, Papa bahkan terbahak bersama Mama karena membahas betapa konyol alasannya.

Baru genap satu semester jadi murid SMA, dia pergi meninggalkan desa, bahkan kota kami, setelah nenek yang merawatnya sejak kecil meninggal. Kudengar dari bisik-bisik tetangga di desa, dia pergi menyusul ibunya di Jakarta---entah bagaimana ceritanya hari ini dia justru pulang ke desa kami untuk menengok ibunya. Kami tidak pernah bertemu lagi setelah itu. Aku pernah menghubunginya beberapa kali. Tidak ada jawaban. Aku juga sengaja tidak pernah mengganti nomor teleponku, takut kalau-kalau dia menghubungiku suatu waktu.

Nyatanya dia tidak menghubungiku hingga sembilan tahun kemudian saat kami bertemu lagi untuk pertama kalinya di stasiun kota kecil kami. Dia memanggil namaku, entah bagaimana dia paham perawakanku. Dan kami berteman lagi. Begitu saja. Dia datang ke rumahku sehari sebelum Lebaran kemarin. Papa menepuk-nepuk bahunya, menatapnya bangga: anak yang dulu gemetaran saat dipelototinya gara-gara keseringan datang ke rumah mencariku sekarang sudah bisa dengan tegak dan percaya diri memberi salam kepadanya. Aku tahu Papa juga menyayanginya, lebih dari yang siapa pun duga.

...

"Gila ya kamu itu," dia tertawa, masih mengenang.

"Kamu tuh yang gila," kubalas begitu, "Masa dikasih surat cinta malah nangis," dia tertawa lagi.

"Dari dulu, setelah aku cerita soal kamu, Mama selalu ingin ketemu kamu," katanya. Kali ini tidak dengan tawa. Kulihat dia tersenyum, tipis dan getir.

"Yang penting sekarang sudah ketemu," kataku, sedikit menghibur. Dia tersenyum lagi, lebih tipis, lebih getir. Matanya menatap jauh ke angkasa. Menatap bulan yang tidak kelihatan, mungkin?

Waktu kuliah dulu, aku sempat kesulitan setengah mati saat dosenku memintaku menafsirkan puisi "Malam Lebaran" karya Sitor Situmorang. Puisi yang hanya berisi satu kalimat: bulan di atas kuburan. Padahal saat malam Lebaran, tanggal 1 awal bulan, mana bisa bulan kelihatan? Tapi kalau diminta menafsirkannya sekarang, aku mungkin bisa menuliskannya hingga berhalaman-halaman.

Pukul 20.19.

Kami beranjak pulang. Berjalan berdampingan. Dia menengok ke belakang sekali lagi saat kami sampai di depan pintu makam. Dari sana, lamat-lamat bisa kubaca nama yang tertulis di atas sebuah nisan: nama ibunya. Ah, rupanya kepulangannya kali ini tak sesederhana yang kuduga.

...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun