Nyatanya dia tidak menghubungiku hingga sembilan tahun kemudian saat kami bertemu lagi untuk pertama kalinya di stasiun kota kecil kami. Dia memanggil namaku, entah bagaimana dia paham perawakanku. Dan kami berteman lagi. Begitu saja. Dia datang ke rumahku sehari sebelum Lebaran kemarin. Papa menepuk-nepuk bahunya, menatapnya bangga: anak yang dulu gemetaran saat dipelototinya gara-gara keseringan datang ke rumah mencariku sekarang sudah bisa dengan tegak dan percaya diri memberi salam kepadanya. Aku tahu Papa juga menyayanginya, lebih dari yang siapa pun duga.
...
"Gila ya kamu itu," dia tertawa, masih mengenang.
"Kamu tuh yang gila," kubalas begitu, "Masa dikasih surat cinta malah nangis," dia tertawa lagi.
"Dari dulu, setelah aku cerita soal kamu, Mama selalu ingin ketemu kamu," katanya. Kali ini tidak dengan tawa. Kulihat dia tersenyum, tipis dan getir.
"Yang penting sekarang sudah ketemu," kataku, sedikit menghibur. Dia tersenyum lagi, lebih tipis, lebih getir. Matanya menatap jauh ke angkasa. Menatap bulan yang tidak kelihatan, mungkin?
Waktu kuliah dulu, aku sempat kesulitan setengah mati saat dosenku memintaku menafsirkan puisi "Malam Lebaran" karya Sitor Situmorang. Puisi yang hanya berisi satu kalimat: bulan di atas kuburan. Padahal saat malam Lebaran, tanggal 1 awal bulan, mana bisa bulan kelihatan? Tapi kalau diminta menafsirkannya sekarang, aku mungkin bisa menuliskannya hingga berhalaman-halaman.
Pukul 20.19.
Kami beranjak pulang. Berjalan berdampingan. Dia menengok ke belakang sekali lagi saat kami sampai di depan pintu makam. Dari sana, lamat-lamat bisa kubaca nama yang tertulis di atas sebuah nisan: nama ibunya. Ah, rupanya kepulangannya kali ini tak sesederhana yang kuduga.
...