Mohon tunggu...
Alan Griha Yunanto
Alan Griha Yunanto Mohon Tunggu... -

Saat ini aku sedang menimba ilmu di Politik dan Pemerintahan UGM. Tetapi tetap Al Qur'an adalah pedoman yang paling utama dibarengi dengan Hadist Rasul. Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan surganya kepadaku.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisa Kemiskinan Struktural

25 Juni 2012   03:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34 5460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini akan membahas tentang masalah kemiskinan yang ditinjau dari perspektif struktural. Analisa ini berdasarkan pendapat beberapa tokoh ekonomi dan dengan memadukan analisa dari penulis sendiri dalam memandang kemiskinan. Kemiskinan memang tidak harus dipandang dari segi ketidakmampuan orang-orang miskin saja namun ada sesuatu dari eksternalsi miskin yang membuat si miskin semakin miskin. Kelebihan dalam menggunakan analisa dengan perspektif struktural ini tidak lagi membicarakan kemiskinan dalam hal perbandingan ekonomi namun dapat menunjukkan hal-hal lain di luar si miskin yang membuat mereka tetap miskin atau semakin miskin. Dalam perspektif struktural ini tidak bisa lagi dalam menganalisa kemiskinan menggunakan patokan dasar adalah pendapatan per kapita. Karena bisa saja seseorang itu pendapatan per kapitanya melampaui garis batas kemiskinan tetapi secara struktural ia adalah orang yang jauh dari alat-alat produksi, jauh dari proses pengambilan keputusan, terasing dari kemungkinan partisipasi (Lubis, 1986: 41). Jadi ada faktor-faktor lain yang ingin diekspos oleh perspektif struktural ini.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui paparan penulis tentang kelebihan dari perspektif struktural, dalam penjelasan selanjutnya akan dibahas mengenai kekurangan dari perspektif struktural ini. Penulis memandang kekurangan dari perspektif ini yaitu dalam menemukan solusi untuk memecahkan kebuntuan dalam masalah kemiskinan sangat sulit dilakukan dalam kenyataan. Memang di atas kertas sangatlah memuaskan dan masuk akal jika ditelaah, namun dalam pengimplementasian solusi dibutuhkan tenaga dan pemikiran yang ekstra. Karena dalam penerapannya, strukturalis ini cenderung merubah kondisi yang berada diluar si miskin bukan dari si miskin sendiri yang berusaha untuk merubah dirinya sendiri supaya tuntas dari kemiskinan. Merombak suatu sistem adalah merubah segalanya yang ada pada suatu wilayah atau negara tersebut, terutama dalam aspek penyediaan kesempatan yang sama diberbagai sektor.

Kemiskinan Struktural Karena Tertutupnya Kesempatan

Membahas masalah kemiskinan tidak lengkap rasanya jika tidak mendefinisikan dan menganalisa sebenarnya apa yang menjadi standar seseorang dikatakan miskin itu? Untuk membahas pertanyaan dasar tersebut ada baiknya, jika kita meminjam berbagai pendapat beberapa tokoh dalam menganalisa masalah kemiskinan secara struktural ini. Kata-kata kemiskinan memang sudah tidak asing lagi didengar, namun jawaban tentang apa itu makna kemiskinan masih bermacam-macam dan simpang siur.

Meminjam istilah Ghose dan Keffin dalam Andre Bayo (1996), mengatakan bahwa kemiskinan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara berarti kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain-lain. Memang sepakat dengan analisa Ghose dan Keffin bahwa dalam mengidentifikasikan kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek ekonomi saja, terbukti dalam memberikan standar orang dikatakan miskin mereka menggunakan aspek-apek lain seperti kesehatan, pemenuhan gizi, dan pendidikan. Aspek-aspek non-material tersebut bukan dari si miskin yang kurang respek untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) namun karena kurangnya kesempatan seperti yang dikatakan oleh Ghose dan Keffin.

Lebih lanjut untuk lebih memperjelas dan memberikan kemantapan dalam menganalisa kemiskinan struktural Friedmann dalam Andre Bayo (1996), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain. Kesempatan-kesempatan tersebut seolah tertutupi dengan adanya gap antara si miskin dan si kaya, dari orang kaya dapat dengan mudah mendapatkan semuanya itu. Kemiskinan structural ini dimana sumber daya ekonomi, politik, teknologi dan informasi hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja. Namun bagaiman dengan si miskin mereka semakin terpinggirkan akibat pola sistem ekonomi yang berlaku dalam negara Indonesia.

Kapitalisme dengan Program-Program yang Menjerat

Persatuan Bangsa-Bangsa membuat suatu program yang pada awalnya sangat menarik untuk diterapkan oleh sistem ekonomi negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Program tersebut adalah Tujuan-tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goals) sejak tahun 2000. Kesepakatan bersama ini merupakan perwujudan tekad bersama bangsa-bangsa di dunia untuk memahami kemiskinan dan menemukan solusi yang terbaik untuk diterapkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasinya. Namun dalam perjalanan MDGs problem kemiskinan di Indonesia jauh dari kata terentaskan (Azra, 2007). Dalam beberapa aspek justru dengan adanya proyek MDGs yang akan selesai pada tahun 2015 ini malahan timbul masalah-masalah baru. Termasuk didalamnya banyak program-program yang telah dilaksanakan namun banyak yang tidak tepat sasaran dan justru dengan adanya program ini si miskin malah semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.

Dalam pengamatan penulis program-program dari PBB atau lembaga lain yang berada diluar Indonesia (dalam artian dari Barat) tentu mempunyai maksud dan tujuan terhadap negara-negara yang mendapatkan bantuan. Seperti kata pepetah yang sering digunakan dalam ilmu politik,tidak ada makan siang yang gratis. MDGs adalah buatan PBB, sedangkan lembaga tersebut sangat kental nuansanya dengan Amerika. Walaupun mengaku sebagai lembaga yang netral namun pengusaannya saja sudah terlihat berada di Amerika Serikat yang menganut sistem Kapitalisme yang sangat kuat.

Apalagi dalam hal pendanaan sistem Kapitalisme disuport oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF mempunyai implikasi pada negara Dunia Ketiga dan negara berkembangyang telah diberikan bantuan berupa pinjaman, termasuk Indonesia. Sesuai dengan pendapat John Galtung (1971) kalau kita membaca langkah perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional di negara-negara dunia ketiga, maka penjajahan bentuk baru ini begitu advanced and sophisticated. Hampir tidak ada peluru yang ditembakkan. Bentuk pinjaman yang diberikan ini akan brpengaruh juga terhadap si miskin, sudah hidupnya miskin, tidak tahu apa-apa tentang kebijakan-kebijakkan ekonomi negara, dan mereka harus ikut aktif menanggung beban hutang negara juga.Lebih lanjut menurut Maarif dalam buku Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan mengatakan bahwa dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia penduduknya sekitar 200 juta dan Malaysia mungkin hanya 75 juta. Dari pengalamannya membaca, alasan kenapa Malaysia dan Timur Tengah lepas dari krisis karena mereka tidak mau menyembah kepada IMF.

Sistem Kapitalisme melalui program-program pembangunannya sangat tidak cocok untuk menanggulangi masalah pengentasan kemiskinan, justru segala program yang diterapkan akan membuat ketimpangan semakin besar antara si kaya dan si miskin. Pola yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme ini justru akan membuat negara dengan rakyatnya semakin mengalami ketergantungan dengan hutang, hutang, dan hutang. Di dalam mekanisme hutang ada juga bunga yang tidak sedikit juga jumlahnya dan akan terakumulasi setiap tahunnya.

Dalam menjelaskan kemiskinan struktural, penulis meminjam teori dependensia dari analisa Paul Baran, ia membagi Kapitalisme menjadi dua yaitu pusat dan pinggiran. Kapitalisme yang berkembang seperti di Indonesia bukan seperti yang berkembang di dunia Barat, tetapi Kapitalisme model pinggiran. Jenis kapitalisme ini salah satu varian dari sistem ekonomi yang kapitalistis, di mana modal, keahlian, pengetahuan, dan buruh sangat memegang penting peranan dalam mengeksplorasi sumber-sumber daya alam untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh pasaran dengan tujuan pokok untuk mengeruk keuntungan dan mendapatkan modal (Bulkin, 1984).

Istilah pinggiran disini menurut Bulkin menunjukkan suatu keadaan dimana keuntungan dan modal ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar. Secara structural sistem Kapitalisme Pinggiran ini selalu akan menciptakan ekonomi yang berat sebelah dan terpusat keluar, dimana kegiatan utamanya adalah pada bidang ekstraktif dan ekspor. Sehingga tidak akan mendorong terciptanya industrialisasi, tertutup juga kemungkinan si miskin untuk memperoleh pekerjaan. Sesuai dengan teori dependensia Paul Baran bahwa yang terjadi di negara-negara kapitalis pinggiran adalah muncul kekuatan ekonomi asing, sehingga surplus diambil oleh kekuatan tersebut.

Konteks di Indonesia dalam pengamatan penulis sangat cocok dengan kriteria diatas, negara kita cepat berbangga diri dengan kegiatan ekspor kebanyakan bahan mentah untuk diolah di luar negeri, dan sebenarnya kegiatan ini sangat merugikan si miskin terutama dalam memperoleh kesempatan untuk bekerja. Indonesia saat ini masih dikuasai oleh sistem ini, dan sampai sekarang sistem ini masih terpelihara sangat baik salah satu hal warisan kolonialisme Barat.

Hal yang tidak kalah menarik dari usaha pemiskinan oleh sistem Kapitalisme ini ada pada aspek mekanisme pasar yang dijalankan oleh Kapitalisme. Dalam mekanisme ini terdapat istilah “supply” dan “demands” dengan kedua pijakan dasar tersebut, pasar dipercaya sebagai sebuah tempat untuk mengalokasikan barang-barang dan menjamu konsumen dengan service yang baik. Hal yang menjadi pemaksaan dari pasar sebagai sebuah mekanisme yang dipakaimembuat relasi sosial dan kebutuhan dasar publik dijadikan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan. Termasuk didalmnya pendidikan dan kesehatan tidak dipahami sebagai hak dasar masyarakat, tetapi dijadikan komoditas. Pasar percaya bahwa dalam menyediakan barang-barang publik sebagai sebuah kebijakan sosial, baik oleh pemerintah maupun pasar sendiri, dinilai tidak menimbulkan efisiensi (Sulhin, 2009:31).

Ironisnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah samaseperti yang dipaparkan di atas. Semua barang-barang publik adalah komoditas, bagi si kaya hal ini tidak akan menjadi suatu masalah yang serius, mereka punya uang,dapat membeli pelayanan dasar tersebutdan mendapatkan pelayanan yang baik. Namun bagi si miskin, kondisi monopoli semacam ini justru akan semakin mencekik kehidupan mereka. Bayangkan saja sudah miskin, hidup di negara yang ekonominya serba campuran ini, dan mereka harus membeli dulu hak-hak dasar mereka yang seharusnya diberikan cuma-cuma oleh negara. Apalagi dua sektor utama pendidikan dan kesehatan yang menjadi komoditas. Mau pandai darimana, mau sehat dan gizi tercukupi seperti yang digembar-gemborkan pemerintah, kalau hak-hak dasar mereka saja dijual belikan. Oscar Lewis dalam Suparlan (1995) menambahkan kondisi seperti ini akan menimbulkan kebudayaan kemiskinan, dan justru membuat kemiskinan itu semakin bertambah juga seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

Strategi Dalam Memerangi Kemiskinan Struktural

Pembangunan tidak akan berhasil untuk mengatasi kemiskinan tanpa disertai peningkatan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan pokok, peningkatan produktivitas rakyat miskin. Banyak jugayang berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs)akan menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Memang kalau Indonesia dapat melakukan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam sistem itu, maka kemiskinan dapat dikurangi secara massal. Dibutuhkan tindakan pemerintah untuk mengubah pola-pola pemilikan tanah, mengurangi investasi padat modal, mengarahkan kekuatan-kakuatan pasa, mempengaruhi perubahan nilai-nilai, dan mengatur perdagangan luar negeri (Bayo, 1996:37). Tidak mudah memang dalam merubah suatu sistem yang bergulir dalam suatu negara, namun tidak ada salahnya untuk diuji cobakan. Karena sistem yang berada di Indonesia ini belum sepenuhnya jelas, mumpung belum jelas maka ada kesempatan untuk merubah sedikit demi sedikit.

Strategi dalam pengentasan kemiskinan memang sangat dibutuhkan peran dari negara tidak lain dalam rangka advokasi sosial untuk menciptakan tatanan yang berkeadilan dan berkemakmuran. Peran negara yang dituntut dalam proses pengentasan kemiskinan adalah meredistribusi kekayaan dan pendapatan, memastikan agar dalam proses distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya (Baidhowy, 2007:7).

Penulis sepakat dengan pendapat tersebut karena memang dari pekerja, pemilik modal, dan pemilik tanah harus berbagi bersama dalam hasil-hasil produksinya. Negara sebagai kekuasaan tertinggi harus bisa memberikan kontribusi dalam mendistribusikan hasil produksi kepada mereka yang miskin secara sosial dan ekonomi. Penulis merekomendasikan untuk memakai mekanisme koperasi dalam mengentaskan kemiskinan. Tentu dalam menerapkan koperasi sebagai soko guru ekonomi harus diimbangi dengan peran negara sebagai pihak yang seharusnya berani memaksa untuk kebaikan, karena sistem yang sekarang berjalan justru semakin memperlemah sector koperasi, menjadikan koperasi tidak menarik lagi. Padahal jika ditelusuri lebih dalam dan diamalkan sesuai dengan kaidah yang ada dalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi sangat pas jika permasalahan negara adalah pada mekanisme distribusi hasil produksi. Dengan koperasi semua masyarakatsama, tidak ada paksaan dalam memberikan modal bersama dan cita-cita koperasi di Indonesia menurut Mohammad Hatta yakni menciptakan masyarakat yang kolektif, berakar pada adat istiadat, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Disini negara lebih ditekankan untuk memperbaiki sistem yang saat ini berlaku di Indonesia.

Jadi untuk menutup tulisan ini penulis sekali lagi menekankan bahwa kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek ekonomi saja, namun hak-hak dasar lain seperti kesempatan dalam memperoleh pendidikan dan kesehatan juga perlu untuk diperhatikan dalam mengidentifikasi kemiskinan. Masalah kemiskinan ada karena sistem yang salah untuk diterapkan di Indonesia, justru dengan adanya lembaga-lembaga keuangan internasional dengan mekanisme bantuannya semakin menambah penderitaan rakyat miskin. Ditambah lagi dengan adanya mekanisme pasar yang secara diam-diam merasuki ideology bangsa Indonesia ini, menjadikan semua barang-barang publik menjadi komoditas, sehingga tidak semua masyarakat dapat mengaksesnya dalam artian tidak ada kesempatan si miskin untuk memperoleh pelayanan yang prima sama seperti si kaya. Penulis juga menekankan solusi yang diterapkan butuh peran pemerintah dalam menerapkan dan menata kembali sistem yang ada, penulis merekomendasikan untuk menerapkan koperasi sebagai sistem ekonomi dalam rangka menguatkan distribusi hasil produksi.

Referensi :

Ala, Andre Bayo, Drs. (editor). 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty Offset.

Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia.

Lubis, T. Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.

Muwahidah, Siti Sarah dan Zakiyudin Baidhowy (editor). 2007. Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan: Kebijakan Pemerintah, Kiprah Kelompok Islam, dan Potret Gerakan Inisiatif di Tingkat Lokal. Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity.

Sulhin, Iqrak. 2009. Capitalism and The Future of Indonesia’s Anti-Poverty Policy. Yogyakarta: Gadjah Mada University.

Suparlan, Parsudi. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Swasono, Sri Edi (editor). 1985. Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Jakarta: UI-Press

Jurnal

Farchan Bulkin, Kapitalisme, Golongan Menengah, dan Negara: Sebuah Catatan Penelitian, Prisma, No.2, Februari, 1984.

John Galtung,A Structural Theory of Imperialism, dalam Journal of Peace Research, vol.8, 1971.

Website

http://www.solopos.com/2012/lifestyle/fokus-lifestyle/kemiskinan-struktural-di-tepian-kota-183923, diakses tanggal 16 Juni 2012

http://www.haluankepri.com/opini-/21992-kemiskinan-struktural-dari-perspektif-teoritis.html

diakses tanggal 16 Juni 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun