Mohon tunggu...
Ayushi Hernawa
Ayushi Hernawa Mohon Tunggu... -

Hanya ingin berbagi...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dan Pertemuan Itu...

5 Juli 2012   09:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:16 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dia ada disana, duduk menghadap pintu ruangan sempit berukuran 3 x 3 m. Cat kamar itu juga sudah kusam,warna persis dengan pakaian yang dia gunakan. Detak jantungku bergerak lebih cepat, tangan hitamnya meraba handphone yang ada disakunya. Mungkin dia ingin menghubungiku. Semakin gemuruh suara jantung ini, aku belum siap.

Dan,benar beberapa detik kemudian suara HPku berdering, dan itu darinya. Aku abaikan saja. Aku belum siap. Perlahan kubalikkan badanku dan berjalan menjauh sudut lorong itu. Aku belum siap. Pikiran itu yang terus menggangguku. Sehingga menghalangi keinginan besarku untuk berertemu dengannya.

.................................

Keesokan harinya, setelah 10 panggilan tak terjawab di layar HPku. Aku beranikan diri menghubunginya kembali, melalui pesan singkat "MAAF KEMARIN AKU TIDAK BISA DATANG". Setelah kupilih tombol “send” segera ku matikan handphoneku lagi. Sungguh aku belum siap.

Melihat sosoknya lagi seperti mengingatkanku pada luka sekaligus kerinduan yang teramat sangat. Punggung itu tidak berubah bahkan setelah melewati dua puluh tahun waktu berlalu. Ingin aku menatap sudut matanya seperti dulu, tapi aku belum siap.

Kutelusuri lagi jalan Kecil di dekat bukit, sambil sedikit mengenang saat aku bersamanya. Cengkeraman tangannya dibahku yang kecil, pelukan hangatnya saat hujan mulai gerimis. Sementara waktu dia kibas-kibaskan jaket kumalnya untuk menghalangi tubuhku dari hujan. Masih terasa kecupannya di keningku ketika dia pergi. Dan kepergian itu yang membuat lukaku menganga lebar.

Ayah idamanku. Harapanku. Kebanggaanku. Semua itu musnah saat kepergianmu. Teringat jelas wajah ibu yang sembab karena berhari-hari menangisi kepergianmu. Cemoohan warga terhadap keluarga kita, Hidupku seperti terjelembab ke dalam dasar jurang yang dalam secara tiba-tiba.

Yang ingin kukatakan hanya satu "kenapa Yah...". Hanya pertanyaan itu yang selalu aku simpan dihatiku. Dan jika kelak sang waktu mengijinkan kita bertemu hanya kata itu yang ingin aku tanyakan. Tahun-demi tahun tanpamu terasa beku. Waktu  terasa lambat bagi mereka yang menunggu, terlalu panjang bagi yang gelisah, dan terlalu pendek bagi yang bahagia. Namun Waktu adalah keabadian bagi yang mereka mampu bersyukur. Setiap kejadian-kejadian kecil hidup kita adalah bagian dari harmoni total alam semesta, semuanya sudah ada yang mengatur dengan sempurna.

Maka dengan tertatih kujalani hidup apa adanya, dengan sangat sederhana. Karena aku yakin sebenarnya sangatlah mudah menjadi bahagia. Kebahagiaan akan datang saat kita memaafkan diri kita sendiri, memaafkan orang lain, dan hidup dengan penuh rasa syukur. Ibu terus sakit-sakitan semenjak Ayah pergi meninggalkannya. Dia terus saja menyalahkan dirinya atas keputusan ayah pergi, dan aku tak pernah berani bertanya padanya. Hatinya begitu rapuh jika mendengar kata “Ayah”.

(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun