Mohon tunggu...
Suharsono Suharsono
Suharsono Suharsono Mohon Tunggu... -

bisnis melanggar aturan ......... perlukah mahkamah konstitusi mengenal autobiografi seorang tukang tv

Selanjutnya

Tutup

Money

Kalau Minta Izin buat Hankamnas Swasta Dimana Ya?

14 Juni 2010   01:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Pertanyaanku ini saya sampaikan untuk pembaca kompasiana, mengingat saya selama ini sudah menampung cendekiawan tidak terakreditasi oleh negara yang memiliki potensi yang sangat luar biasa. Potensi yang tidak terukur secara sertifikasi, standarisasi yang artinya seorang skill yang di negeri yang kaya sumber belajar akibat dijajah berbagai produk manufaktur teknologi.

Untuk memudahkan pemahaman tentang liar bengis dan jahatnya sifat teknologi terhadap kehidupan manusia yang biasanya terlambat memahami, kami paparkan tulisan seorang yang tidak saya kenal sbb:

Berteknologi Juga Berfilsafat

§Oleh Muhammadun

DUNIA kita saat ini adalah dunia kehidupan teknologis. Hidup dipenuhi alat teknologis. Teknologi ada di mana-mana. Kita menyiapkan makanan dengan teknologi. Kita memakai teknologi sebagai pakaian. Kita membaca dan menulis dengan teknologi. Kita bekerja dan bermain dengan teknologi. Kita memproduksi dan membeli teknologi. Kita tak dapat tidak hidup di dunia teknologi dan harus menerima kenyataan itu.

Hidup manusia sudah sepenuhnya dimediasi teknologi. Sangat sukar memikirkan hidup tanpa alat, mesin, atau fasilitas. Karena itu, pantaslah teknologi direfleksikan secara filosofis.

Filsafat teknologi merupakan cabang filsafat kontemporer yang memandang teknologi sebagai fenomena penting dan perlu direfleksi secara mendalam. Pada tataran epistemologi, filsafat teknologi memunculkan persoalan tentang sifat teknologi.

Di wilayah metafisika, filsafat teknologi mempersoalkan apa yang riil, yang alami, yang artifisial, yang manusiawi dan tak manusiawi. Di bidang etika, filsafat teknologi mempertanyakan perkara moral dengan penggunaan teknologi yang sesuai dengan martabat manusia serta konsekuensi penggunaan teknologi. Filsafat teknologi juga mempersoalkan pertanyaan politis: bagaimana manusia hidup dalam masyarakat teknologis, bagaimana teknologi mengubah cara hidup dan relasi sosial, serta siapa yang menentukan kebijakan teknologi yang akan diterapkan.
Ada dalam Teori Don Ihde (2008) menegaskan, manusia tak dapat hidup di suatu taman nonteknologis. Sebab, di atas bumi manusia merupakan makhluk yang secara inheren teknologis. Dunia nonteknologis tak mungkin ada dalam kenyataan dan hanya mungkin ada dalam teori.

Dunia yang dikonstruksi teknologi terkadang membuat manusia makin lebih baik, tetapi terkadang juga menjadi buruk dan bengis. Teknologi membentuk dan mengubah budaya serta lingkungan hidup manusia. Dalam definisi Ihde, teknologi mempunyai tiga ciri. Pertama, komponen konkret, yakni materi. Kedua, aspek penggunaan atau aspek praktis. Ketiga, hubungan antara alat teknologi dan manusia yang menciptakan, menggunakan, dan mengubahnya. Menurut pendapat Ihde pula, teknologi tertanam secara kultural.

Dalam mengkaji filsafat teknologi, Ihde tak sendirian. Di antara filsuf yang memikirkan teknologi secara serius sebelum dia, Heideggar dapat disebut perintis pemikiran filosofis mengenai teknologi. Heideggar, pengarang Being and Time, menjadikan teknologi pokok sentral dalam filsafat dan mempertimbangkan teknologi sebagai permasalahan ontologis. Tak mengherankan jika pemikiran filosofis Ihde mengikuti Heideggar. Teknologi berupaya menyingkap esensi teknologi agar manusia dapat menjalin hubungan yang bebas dengan teknologi. Ketika sudah memahami esensi teknologi secara benar, manusia dapat mengalami teknologi dalam batas-batasnya serta melampaui batas-batas itu.
Tidak Netral Ihde mengemukakan teknologi tidak netral. Teknologi sebagai mediator antara manusia dan dunianya mengubah pengalaman manusia mengenai dunia. Budaya juga berubah dengan penerapan teknologi. Ihde melihat teknologi tidak netral karena kekuasaan manusia. Manusia dapat menggunakan teknologi sebagai sarana kekuasaan untuk mencapai tujuan dan kepentingan tertentu.
Herbert Marcuse melihat, alih-alih membawa pembebasan, teknologi justru membelenggu. Dalam teknologi berlaku kemenangan pemikiran analitis dan teknis. Manusia direduksi menjadi manusia satu dimensi, yakni manusia konsumeristik; segala sesuatu jadi komoditas.

Dengan kedok netralitas, teknologi menyembunyikan kekuasaan ideologi teknokratis yang politis dan dominan, semacam totalitarianisme yang mengontrol masyarakat tanpa represi, dengan memanipulasi kebutuhan manusia demi kepentingan pihak tertentu. Masyarakat teknokratis dikondisikan untuk berpikir bahwa kebutuhan manusia seolah-olah hanya dapat dipenuhi oleh cara-cara teknologis.

Jurgen Habermas tak mau kalah menafsirkan teknologi. Habermas menilai teknologi sebagai sistem. Dunia di bawah sistem teknologi dikuasai teknologi dengan rasionalitas bersifat teknis, instrumental, berorientasi ke penyelesaian masalah dan efisiensi. Dalam sistem itu, sains dan teknologi jadi kekuatan produksi utama. Selain itu, masih ada dunia lain, yakni dunia kehidupan sosial yang terbuka, komunikatif, dan intersubjektif. Yang berjalan dalam kehidupan adalah rasionalitas komunikatif; manakala manusia dilihat sebagai manusia intersubjektif. Maka, bagi Habermas, bukan teknologi pada dirinya yang mengancam kehidupan manusia, melainkan gangguan dalam dimensi komunikatif. Dalam sistem dunia teknologis harus ada rasionalitas komunikatif untuk menjadikannya lebih manusiawi.

Berangkat dari pemikiran filosof itulah, Ihde melihat hubungan manusia dan teknologi diperantarai instrumen serta ketertanaman teknologi dalam bahaya. Budaya dianggap multikultural. Alat-alat teknologi dipandang sebagai instrumen budaya dan instrumen saintifik. Penggunaan teknologi oleh manusia telah memunculkan revolusi teknologis yang amat besar ditinjau dari aspek waktu, ruang, dan bahasa; setiap aspek itu disebabkan oleh jam, peta/lensa, dan tulisan.

Dari berbagai analisis dan kajian itu, Ihde mendekati teknologi dengan pendekatan fenomenologi. Dia mengkaji fenomena teknologi bukan dampak teknologi. Dia menghindari interpretasi teknologi yang terlalu ekstrem, baik dari segi teknologi sebagai utopia maupun distopia. (53)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun