Hampir sepanjang bulan Maret lalu masyarakat dibuat gaduh oleh kebijakan pemerintah tentang proses peresemian pengangkatan CPNS dan PPPK. Tanggal 5 Maret 2025, melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Rini Widyantini, pemerintah mengumumkan bahwa pengangkatan CPNS dan PPPK ditunda ke bulan Oktober 2025 untuk CPNS dan Maret 2026 untuk PPPK.
Protes menjamur di mana-mana, aksi-aksi desakan agar pemerintah konsisten dengan rancana awal proses rekruitmen marak di berbagai daerah. Blacklash bukan hanya muncul dari para calon ASN yang merasa dirugikan. Tetapi juga dari masyarakat luas yang empati, yang peduli, dan yang kecewa dengan kebiasaan pemerintah yang kerap terkesan tidak peduli dengan kepentingan dan suara-suara publik.
Tetapi kita semua tahu endingnya. Pemerintah akhirnya mengembalikan proses finalisasi rekrutimen CPNS dan PPPK pada agenda awal. CPNS akan diproses paling lambat akhir Juni 2025, PPPK paling lambat 1 Oktober 2025 ini. Putusan final ini disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, 17 Maret 2025.
Putusan final itu tentu saja diapresiasi positif, disambut dengan sukacita terutama oleh para calon ASN (CPNS dan PPPK). Dan Presiden Prabowo, segera saja mendapat pujian.Â
Situasi ini kurang lebih mirip dengan apa yang terjadi pada pada beberapa kesempatan sebelumnya untuk beberapa isu yang menyita perhatian publik. Yakni isu rencana kenaikan pajak 12 persen, larangan penjual mengecer elpiji 3 kilogram, dan pemangkasan beasiswa KIP, yang kesemuanya kemudian dibatalkan setelah mendapatkan blacklash atau reaksi publik yang kencang.
Dalam kerangka politik kebijakan, fenomena serupa itu lazim disebut sebagai strategi test the water, "cek ombak". Suatu strategi melalui cara apa pemerintah menguji reaksi masyarakat terkait rencana kebijakan mengenai isu-isu tertentu berkenaan dengan hajat hidup banyak orang.
Politik cek ombak ini biasa digunakan oleh para politisi di lingkungan partai politik atau para politisi yang bahkan sudah mendapatkan mandat dan kepercayaan rakyat melalui Pemilu untuk memimpin negara.
Dalam konteks kekuasaan pemerintahan negara, strategi ini memiliki tujuan yang simpel. Yakni untuk mengetahui bagaimana reaksi publik terhadap rencana suatu kebijakan politik.Â
Jika reaksi publik positif, atau kalaupun negatif tetapi dengan tensi penolakan yang rendah, maka kebijakan akan berlanjut. Sebaliknya, jika blacklash publik terhadap rencana kebijakan itu kencang dan meluas, maka cepat atau lambat pemerintah akan membatalkan rencana kebijakan itu.