Kegaduhan yang dipicu oleh penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi Undang-Undang nampaknya masih akan terus berlanjut mengingat perhatian yang semakin meluas dan konsolidasi perlawanan masyarakat sipil yang kian menguat di berbagai daerah.
Sejumlah elit politik, baik di lingkaran istana maupun parlemen, bahkan juga elit-elit partai politik telah mencoba meredamnya dengan melontarkan garansi bahwa UU TNI yang baru saja disahkan tidak akan mengarah pada kebangkitan Dwi Fungsi tentara seperti di era orde baru sebagaimana dikhawatirkan berbagai elemen masyarakat.
Namun dari perkembangan yang dapat dicermati, garansi politik para elit ini terlihat tidak cukup efektif. Penolakan terus meluas dan semakin intens terutama di kampus-kampus di berbagai daerah.
Terkait isu ini ada satu situasi paradoks yang melanskapi perjalanan sejarah tentara kita dalam konteks Indonesia modern yang perlu difahami. Di satu sisi, perspektif demokrasi menghendaki tentara tunduk dibawah prinsip supremasi sipil atas dasar legitimasi politik yang diraih melalui mandat rakyat (Pemilu).
Sementara di sisi lain, sejarah kelahiran tentara Indonesia tidak terlepas dari pergumulan yang intens bersama rakyat ketika melawan dan mengusir penjajah dahulu serta mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Itulah sebabnya, cikal bakal organisasi tentara kita dinamai Badan Keamanan Rakyat (BKR, 1945), lalu bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR, 1945), Tentara Republik Indonesia (TRI, 1946), Tentara Nasional Indonesia (TNI fase pertama, 1947), diubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI, 1962) di era orde lama, dan terakhir kembali menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI fase kedua, 1999) sejak di era transisi menuju reformasi.
Demokrasi dan Supremasi Sipil
Kembali ke isu penolakan masyarakat sipil terhadap revisi UU TNI. Ada dua alasan kunci yang melatar belakangi sikap penolakan ini.
Pertama menyangkut tradisi dan cara kerja militer yang dibangun diatas sistem hierarki komando yang secara diametral berlawanan dengan tradisi demokrasi dan masyarakat sipil.
Kedua alasan historis keterlibatan tentara dalam ranah kepolitikan Indonesia modern yang telah meninggalkan jejak pelanggaran hak-hak sipil dan memberangus kebebasan rakyat sebagai warga negara demokrasi. Â
Secara teoritik fenomena keterlibatan militer dalam politik itu sendiri telah banyak dikaji dan diperbincangkan dalam kerangka hubungan sipil-militer. Pada umumnya para ahli memetakan isu hubungan sipil-militer ini ke dalam dua perspektif. Yakni perspektif negara-negara barat dan perspektif negara berkembang atau negara otoriter.
Di negara-negara barat dimana demokrasi pada umumnya telah mengalami konsolidasi dan establish berlaku model civilian supremacy upon the military (supremasi sipil atas militer).