Hampir lima tahun silam, Pemilu 2019 dianggap sukses dihelat. Beberapa indikator keberhasilan Pemilu 2019 antara lain ditunjukkan oleh angka partisipasi yang melonjak naik dibanding Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014 angka partisipasi hanya  69,58%  untuk  Pilpres dan 75,10 % untuk Pileg. Di Pemilu 2019 tingkat partisipasi naik menjadi  81,97% untuk Pilpres, dan  81,69% untuk Pileg. Kedua angka ini melampaui target nasional yang dicanangkan oleh KPU sebesar 77,5%.
Indikator penting lainnya terkait gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang menurun drastis dibanding Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014 gugatan PHPU mencapai angka  903 permohonan diterima, sementara pada Pemilu 2019 permohonan diterima hanya sebanyak 325 permohonan.
Namun demikian, lepas dari success story terurai diatas, Pemilu 2019 juga diwarnai oleh hadirnya sejumlah fenomena mencemaskan dalam konteks dan proyeksi masa depan demokrasi Indonesia, khususnya dalam proses politik elektoral. Dua diantara fenomena mencemaskan itu adalah semakin menguatnya politik identitas dan merebaknya hoax di tengah perhelatan dan kontestasi pemilu. Apa dan bagaimana politik identitas dan hoax mewabah dalam perhelatan Pemilu 2019, dan bagaimana implikasi buruknya terhadap masa depan demokrasi Indonesia jika kedua gejala ini terus menguat dari waktu ke waktu, dari pemilu ke pemilu? Â
Politik Identitas : Negasi atas Kebhinekaan
Secara sederhana terma politik identitas (political of identity) dapat dimaknai sebagai aktifitas politik (bisa dalam konteks proses elektoral maupun dalam kerangka yang lebih luas) yang mendasarkan diri pada ikatan-ikatan primordial seperti etnisitas, agama, dan budaya. Dalam perspektif yang lebih operasional, Muhtar Haboddin (2012) mendefinisikan politik identitas ini sebagai mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik. Dalam konteks elektoral, melalui --sebutlah "strategi"-- politik identitas, elemen-elemen primordial itu dikapitalisasi oleh para kontestan pemilu untuk merebut simpati pemilih; mendulang suara dari mereka, dan tentu saja, target akhirnya memenangi kontestasi.
Pemilu 2019, sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah riset, merupakan pemilu yang sangat kental diwarnai oleh fenomena ini. Simpulan riset yang dilakukan oleh Puskapol FISIP UI misalnya, menyebut bahwa politisasi isu-isu identitas masih menjadi narasi dominan dalam diskursus Pemilu 2019, bahkan kerap disertai dengan penyebaran berita bohong (hoax) maupun ujaran kebencian. Kedua kubu Paslon Presiden-Wapres sama-sama mengkapitalisasi isu-isu identitas (terutama agama) untuk meraih suara pemilih, menyerang kubu lawan, membingkai isu, atau menggiring opini publik.
Praktik masif politik identitas yang demikian itu membuat apa yang selama ini menjadi salah satu kekhasan Indonesia --dan karenanya kerap menjadi kebanggaan tersendiri-- yakni kebhinekaan, menjadi sia-sia dan kehilangan makna. Kebhinekaan, diatas fondasi apa bangsa ini lahir dan ditegakkan, dengan sendirinya dinegasikan oleh praktik-praktik tak sehat politik identitas. Satu hal yang lebih memprihatinkan, dan ini tentu berbahaya, adalah bahwa strategi politik identitas ini tampaknya memang dipelihara dengan sadar oleh para elit yang saling berkomeptisi untuk tujuan memuluskan jalan mereka menuju tahta kuasa.
 Hoax : Menebar Fitnah, Memicu Kegaduhan  Â
Selain fenomena politik identitas, Pemilu 2019 juga diwarnai oleh persebaran hoax yang juga sama masifnya di ruang publik. Secara umum hoax dapat didefinisikan sebagai berita bohong, informasi palsu atau fakta yang dipelintir/direkayasa sedemikian rupa untuk tujuan tertentu. Dalam konteks kontestasi elektoral, hoax tentu saja dimaksudkan untuk men-downgrade atau mendelegitimasi lawan secara politik. Khusus dalam kerangka kontestasi Piplres 2019 silam hoax menyasar kedua paslon sekaligus. Ini bisa menjadi indikasi, bahwa hoax Pilpres memang diproduksi dan disebarluaskan oleh para pendukung atau simpatisan kedua kubu. Meski tidak tertutup kemungkinan juga produsen dan distributornya adalah pihak-pihak yang tidak berasal dari kedua kubu paslon, yang melakukan kegiatannya semata-mata untuk mengadu domba dan/atau menciptakan kegaduhan dan instabilitas politik serta mengambil keuntungan dari situasi tersebut melalui konten-konten fitnah yang berbahaya.
Faktanya kemudian pada Pemilu 2019 yang lalu hoax juga diproduksi oleh para kreator jahat, dan diarahkan bukan hanya pada peserta Pemilu, melainkan juga kepada penyelenggaran Pemilu, khususnya KPU. Beberapa hoax dengan sasaran KPU antara lain berita mengenai 7 (tujuh) kontainer berisi 70 juta surat suara sudah tercoblos untuk paslon tertentu, 31 juta data siluman masuk DPT, 14 juta orang gila masuk DPT dan akan dimobilisasi untuk kepentingan paslon tertentu. Dalam konteks ini hoax tidak bisa lain kecuali dimaksudkan untuk mendelegitimasi KPU yang ujungnya tentu diharapkan akan mendelegitimasi hasil pemilu.
Kedua fenomena terurai diatas, yakni strategi politik identitas dan penggunaan beragam jenis hoax untuk memenangi kontestasi Pemilu 2019 memiliki "nilai" dan dampak destruktif yang setara, yakni sama-sama berpotensi memecah belah masyarakat, menciptakan instabilitas politik-keamanan, dan akhirnya dapat menjerumuskan bangsa dan negara ini kedalam jurang disintegrasi.