Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cingkrang, Cadar, dan Teroris

13 November 2019   15:33 Diperbarui: 13 November 2019   15:35 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Utsman Ibn Affan ra, kemudian diangkat menjadi khalifah (pengganti) Umar Ibn Al-Khattab melalui proses pemilihan yang demokratis. Dengan segala kelebihanya, Usman Ibn Affan yang usinya tidak muda lagi menjadi Khalifah penganti Umar Ibn Al-Khattab ra. Selama 12 tahun lamanya, Usman Ibn Affan menorehkan prestasi yang gemilang. Usman Ibn Affan tidak pernah mengambil gajinya. Namun, pada tahun 35 H/ 17 Juni 656 M, Usman Ibn Affan ra, terbunuh saat beliau sedang membaca Alquran.  

Khalifah berikutnya adalah Ali Ibn Abi Thalib ra. Proses pemilihanya juga melalui pemilihan yang demokratis, bukan karena keturunan dan penunjukkan. Hanya saja, Ali Ibn Abi Thalib ra, tidak lama menjadi Khalifah. Pada 17 Ramadhan 40 H (661), Ibnu Muljam menusuknya, saat Ali Ibn Abi Thalib ra sedang melaksankan sholat subuh. Alasan sang pembunuh sederhana "Ali Ibn Abi Thalib ra, sudah tidak menggunakan hukum, maka di anggab kafir dan halal darahnya".

Maka, pada 10 Ramadhan 40 H (660 M), masa ke-khilafahan yang dikatakan Rasulullah SAW berahir. Totalnya, 30 tahun. Dengan perincian Abu Bakar 2 tahun, Umar Ibn Al-Khattab 10 tahun, dan Usman Ibn Affan ra, 12 tahun, dan Ali Ibn Abi Thalib 6 tahun. Maka, hadis yang diriwayatkan Imam Al-Tirimidzi sangat relevan dengan kenyataan.

Khilafah Muawiyah, Abbasiyah, Ustmaniyah Prakteknya Bukan Sunnah

Karena tidak ada teks yang jelas seputar bentuk pemerintahan, maka umat islam setelah Khulafau Rasidin. Rasulullah SAW juga membatasi 30 tahun. Selanjutnya adalah "masa mulkun" kerajaan. Maka, sangat wajar jika kemudian Muawaiyah menunjuk putranya sebagai pengantinya. Begitulah seterusnya. Dengan demikian, seorang Khalifah itu adalah Raja yang berhak melakukan apa saja. Mau menikah dengan berapa wanita, mau minum dan bermabuk-mabukan, mau memenjarakan ulama, bahkan membunuh ulama juga biasa.

Dari segi istilah "Khilafah", sang pemimpin disebut dengan "Khalifah". Istilah Khalifah itu sudah sunnah, tetapi praktek dan proses pemilihanya tidak sesuai dengan proses pemilihan Khulafau Al-Rasidin. Tidak satu-pun kebijakan yang dibuat oleh seorang Khalifah kecuali harus diikuti. Ketika ulama atau masyarakat memprotes, atau tidak setuju maka harus menerima konsekwensinya. Dipenjara atau dibunuh. Ini tidak pernah terjadi pada masa Khulafau Al-Rasidin.

Dengan runtuhnya Khalifah Umawiyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah, maka demokrasi menjadi solusi terbaik. Proses pemilihanya melalui musyawarah. Seorang pemimpin, tidak diperkenankan menunjukkan putra, atau orang dekatnya sebagai penggantinya. Seorang pemimpin hasil pemilihan secara demokratis tidak diperkenankan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan. Secara tidak langsung, demokrasi itu sangat cocok dibandingkan dengan Khilafah.

Ketika era Khilafah, masih ada perbudakan. Ketika era demokrasi, semua memiliki hak yang sama di dalam mengabdikan diri kepada allah SWT. Seseorang tidak diperbolehkan memperbudak sesama hamba Allah SWT. Lihat saja, Khilafah ISIS yang bubar karena terbunuhnya Abu Bakar Al-Bagdadi sang Khalifah. Mereka masih menjadikan wanita-wanita sebagai budaknya. Di perlakukan seenaknya dalam urusan seksual,  dengan mengatasnamakan agama membolehkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun