Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guyon dan Semboyan Kaum Sarungan

22 Oktober 2018   10:32 Diperbarui: 22 Oktober 2018   10:50 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada guyon paling nyaman, mengembirakan dan mengelikkan, melebihi guyon kaum sarungan. Tidak ada wirid yang lebih hebat melebih wirid kaum sarungan. Tidak ada doa yang lebih khusyuk melebihi doanya kaum sarungan. Tidak ada puasa (tirakat) yang lebih berat dan menantang, melebihi tirakat kaum sarungan.

Ada semboyan kaum sarungan "Santri itu kalah rupo, tapi menang dungo, kalah duit menang wirid, kalah pangkat menang tirakat". Santri sejati yang lama hidup di pondok pesantren pasti kuat dalam berdoa, juga kuat dalam membaca wirid yang diijazahkan Kyai, juga kuat dalam urusan tirakat (puasa). Jika tidak kuat tiga perkara di atas, belum sempurna dikatakan sebagai santri sejati.

Seorang santri yang wajahnya pas-pasan, tidak membuat mereka minder (rendah diri). Mereka kuat di dalam berdoa dan bermunajat kepada Tuhan yang maha kuasa. Mereka-pun memiliki keyakinan, bahwa istrinya pasti sangat cantik., Menariknya, istrinya lebih dari satu (poligami), mereka mampu menaklukkan hati wanita dengan kekuatan doanya. Lebih hebat lagi, istri-istrinya rukun dan juga hidup dalam serumah.

Seorang santri yang mondok di pesantren Salafiyah Al-Nahdiyah, rata-rata bukan dari kalangan orang berada. Kalaupun ada, sangat langka. Biasanya mereka dari kalangan Petani, Nelayan, pedagang Pasar, dengan penghasilan pas-pasan. Namun, nyali mereka sangat tinggi, karena terbiasa hidup sengsara dan apa adanya.

Untuk menutupi kekurangannya, mereka terbiasa menghatamkan Al-Quran dalam seminggu. Membaca surat Al-Waqiah setiap pagi, membaca surat Al-Kahfi setiap malam, dengan harapan, Allah SWT memberikan kemudahan rejekinya. Sholat duha, tahajudan, serta sholat sunnah lainnya dilakukan, agar Allah SWT memberikan kemudahan dari kesulitan-kesulitan ekonomi nya.

Seorang santri di pesantren Salafiyah Al-Nahdiyah, kebanyakan mereka itu dari kalangan biasa (awam), bukan putra-putri pejabat dan bukan putranya orang pangkat, juga bukan konglomerat. Satu kamar (gotakan), isinya puluhan santri dengan latar belakang budaya, bahasa yang berbeda. Namun, mereka bisa makan bersama, bisa bercanda ria. Pesantren itu memang keren.

Cukup banyak santri yang mondok di pesantren Salafiyah Al-Nahdiyah, ternyata dari kalangan yang orang kampung tetapi cita-citanya setinggi langit. Untuk meraih cita-cita, sang Kyai sering kali memberikan wejangan nan motivasi kepada mereka agar rajin berpuasa senin kamis, puasa daud. Dan yang lebih ekstrim lagi, puasa vegetarian (ngrowot), puasa mutih (tidak makan, kecuali nasi putih dan air mineral).

Bahkan ada juga yang puasa mutih dan pati geni, yaitu sebuah ritual puasa yang dimulai sejak hari Selasa. Ketika memasuki hari Kamis, mereka tidak tidur mulai pagi hingga Jumat pagi. Ketika malam hari, harus membaca ratusan, bahkan ribuan bacaan yang telah di ajarkan oleh sang Guru.Tujuan utamanya, menaklukkan nafsunya sendiri.

Santri-santri Pesantren Salafiyah Al-Nadhiyah, di pelosok Nusantara walaupun hidup di era milenium, tetap saja melakukan ritual-ritual santri Nusantara. Puasa, sholat malam menjadi kekuatan mereka di dalam mendapatkan ilmu manfaat dari guru-gurunya. Hanya saja, santri jaman Old, lebih kuat dan tahan banting, dibandingkan santri jaman now yang lebih manja.

KH Yusuf Muhammad atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Yus Jember pernah berkelakar "apa bedanya santri dengan tentara? Beliau-pun kemudian menjawab sendiri "Santri itu kalau guyon urusan cinta dan wanita, sangat mendalam melebihi pengetahuannya, tetapi itu hanyalah teori belaka, karena tidak pernah mengerti". Sementara, tentara itu kalau guyon tentang urusan perempuan, berdasarkan pengalaman dan praktik lapangan". Santri itu sangat asyik dan mengasyikkan, dalam urusan apa-pun, juga tidak pernah tersentuh politik praktis.

Mengutip guyonan renyah kaum sarungan, antara seorang ibu dan putrinya, ketika sedang curhat kepada ibunya, kalau dirinya sedang di lamar seorang santri sarungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun