Mohon tunggu...
Julian Howay
Julian Howay Mohon Tunggu... -

Jurnalist dan pemerhati sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suku Bauzi di Mamberamo Papua Kian Terlupakan

18 April 2011   18:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:40 2870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="alignleft" width="450" caption="Beberapa orang suku Bauzi di wilayah Mamberamo Papua. "][/caption] Salah satu suku terasing di pedalaman Tanah Papua yang telah mendiami kawasan paling terisolir. Mereka masih hidup sebagai masyarakat peramu yang konon tergolong primitif.

Suku Bauzi atau Baudi merupakan satu dari sekitar 260-an suku asli yang kini mendiami Tanah Papua. Oleh lembaga misi dan bahasa Amerika Serikat bernama Summer Institute of Linguistics (SIL), suku ini dimasukan dalam daftar 14 suku paling terasing. Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pun tak ketinggalan memasukan suku Bauzi kedalam daftar 20-an suku terasing yang telah teridentifikasi. Bagaimana tidak, luasnya hutan belantara, pegunungan, lembah, rawa hingga sungai-sungai besar yang berkelok-kelok di sekitar kawasan Mamberamo telah membuat suku ini nyaris tak bersentuhan langsung dengan peradaban modern. Kehidupan keseharian suku ini masih dijalani secara tradisonal.

Menurut sejarah penyebarannya, suku Bauzi berasal dari daerah Waropen utara. Tapi dalam kurun waktu yang lama menyebar ke selatan danau Bira, Noiadi dan tenggara Neao, dua daerah yang terletak di perbukitan Van Rees Mamberamo. Panjang wilayah ini kurang lebih 80 kilometer. Suku Bauzi bisa menyebar karena memiliki kemampuan berpindah menggunakan perahu menyusuri sungai dan berjalan kaki. Jumlah penduduknya hanya beberapa ribuan jiwa. SIL di tahun 1991 pernah merilis data yang memperlihatkan jumlah orang Bauzi sekitar 1.500jiwa. Mereka menyebar di bagian utara dan tengah wilayah Mamberamo. Kini jumlah jiwa suku Bauzi bisa dipastikan telah bertambah tiap tahun, walaupun belum ada data resmi mengenai perkembangan mereka.

Sebagai suku yang menempati kawasan terisolir, sebagian lelaki Bauzi masih mengenakan cawat. Ini berupa selembar daun atau kulit pohon yang telah dikeringkan lalu diikat dengan tali pada ujung alat kelamin. Mereka juga memasang hiasan berupa tulang pada lubang hidung. Sedangkan para wanita mengenakan selembar daun atau kulit kayu yang diikat dengan tali dipinggang untuk menutupi auratnya. Tapi tidak mengenakan penutup dada. Pada acara pesta adat dan penyambutan tamu, kaum lelaki dewasa akan mengenakan hiasan di kepala dari bulu kasuari dan mengoles tubuh dengan air sagu. Sebagian besar suku ini masih hidup pada taraf meramu, berburu dan semi nomaden (berpindah-pindah). Karena itu, mereka membuat sejumlah peralatan seperti, panah, tombak, parang, pisau belati, dan lain-lain untuk berburu.

Mereka berburu binatang hutan seperti babi, kasuari, kus-kus dan burung. Buruan itu dimasak dengan cara dibakar atau bakar batu. Selain itu, Suku Bauzi juga menokok sagu sebagai makanan pokok dan menanam umbi-umbian. Namun jarang mengkonsumsi sayur-sayuran. Itulah sebabnya pada anak-anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui dari suku ini sering mengalami gejala kurang gizi dan animea. Meski terbatas, mereka juga memiliki pengetahuan mengenai cara pengobatan alami dengan memanfaatkan tumbuh-tumbuhan hutan (etno-medicine). Suku Bauzi sejak awal hidup secara nomaden, menyesuaikan diri dengan kebutuhan makanan dan kenyamanan suatu wilayah. Mereka membangun bifak di pinggiran sungai dan hutan agar membantu proses perburuan, meramu atau berkebun.

Hanya saja, mereka tidak mengenal cara bercocok tanam yang baik. Dengan bantuan para misionaris, suku ini bisa sedikit mengenal cara-cara berkebun. Pada perkampungan kecil tempat bermukim, mereka membangun rumah-rumah gubuk berdinding kulit kayu dan beratap daun rumbia (daun sagu) atau kulit pohon.Tempat hunian itu dibuat berbentuk rumah panggung. Hingga kini mereka masih membangun rumah seperti itu. Karena tergolong suku terasing, sebagian besar suku Bauzi belum bisa berbahasa Melayu (Indonesia), termasuk tidak bisa baca tulis dan berhitung. Mereka hanya berkomunikasi secara lisan dengan menggunakan bahasa lokal. Orang Bauzi umumnya masih menganut kepercayaan suku dan adat istiadat(animisme).

Namun kini sekitar 65 persen telah memeluk Kristen sebagai dampak perjumpaan dengan para misionaris dari Eropa, AS dan Papua. Dalam kehidupan sosial mereka tidak menganut model kepemimpinan kolektif yang kuat sehingga bisa menjadi panutan bagi anggota komunitas yang lain. Ketika terjadi konflik diantara mereka, akan sulit diselesaikan. Para ahli bahasa (linguist)yang juga misionaris dari SIL dengan dibantu penterjemah lokal telah berusaha mempelajari bahasa dan dialek suku Bauzi selama bertahun-tahun. Upaya ini berhasil dengan penerbitan berbagai literature tentang suku ini, termasukpenerjemahan Alkitab versi Perjanjian Baru ke dalam bahasa Bauzi oleh Dave dan Joice Briley.Dari catatan SIL, bahasa Bauzi memiliki sekitar 1350 kosakata yang terbagi dalam tiga dialek, utama, yakni dialek Gesda Dae, Neao dan Aumenefa.

Sejak penemuan suku ini di tahun 1980-an, mereka terus dididik oleh para misionaris asing dan lokal yang selain bekerja mewartakan injil Kristen, juga melakukan misi pelayanan sosial.Hasil dari pekerjaan ini melahirkan pembangunan gereja yang digunakan sebagai tempat ibadah, sekaligus menjadi tempat pelayanan sosial bagi suku Bauzi.Pekerjaan penginjilan dan pelayanan kepada suku ini juga dilakukan Yayasan Penginjilan dan Pelayanan Masirei (YPPM) sekitar awal 1990-an. Tugas itu kemudian dilanjutkan lagi oleh Yayasan Bethani selama beberapa tahun. Sejak tahun 1995, Yayasan Amal Kasih juga bekerja secara khusus menangani Suku Bauzi di Kampung Fona hingga sekarang.

***

Kalau ditelusuri, suku Bauzi di Mamberamo memang memiliki fase perkembangan tersendiri. Sebelum tahun 1970, suku ini sama sekali belum mengenal dunia luar. Mereka tidak pernah melihat orang asing dari benua Eropa, Amerika atau Australia datang memperkenalkan peradaban modern. Suku Bauzi sejak awal memang terisolasi oleh kehidupan alam liar mereka yang menyimpan banyak misteri. Kontak suku ini dengan orang luar baru terjadi pada tahun 1975. Ini boleh dibilang sangat terlambat dibanding suku-suku lain di Tanah Papua yang puluhan tahun sebelumnya telah bersentuhan dengan dunia luar. Dari catatan sejarah, diketahui bahwa daerah danau Bira yang saat itu dihuni suku Bauzi dimasuki pasangan misionaris asal Amerika Serikat yang juga ahli bahasa dari SIL bernama Dave dan Joyce Briley.

Kedua pasangan misionaris asing itu kemudian menetap di wilayah tersebut dan menjadi ahli bahasa yang pertama untuk suku ini. Keduanya yang kelak menerjemahkan isi Alkibab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Bauzi. Dari pasangan misionaris ini, pada tahun 1984 dan 1985 tersiar berita pertama bahwa telah ditemukan satu suku terasing di sekitar wilayah kepala air Derapos Mamberamo Papua. Dengan berita itu, survei pertama dilakukan ke tempat lain yang disebut “SU” oleh suku Faia, yang kemudian mengundang orang Bauzi turun ke wilayah mereka. Survei itu dilakukan tim yang terdiri dari pasangan Dave dan Joice Briley (SIL), Iris Bouwman dan Jannigje Holster (Misionaris Belanda yang bekerja dengan YPPM), penginjil Gemende, Daud dari suku Fawi dan ditemani seorang juru bahasa dari danau Bira bernama Yakob.

Beberapa tahun selepas survei itu, pembinaan awal kepada orang Bauzi di Fokidi dan Neao diserahkan kepada dua misionaris perempuan, Iris Bouwman dan Jannigje Holster. Namun saat itu kedua misionaris asal Belanda ini harus meninggalkan lokasi misi mereka ditengah-tengah suku Bauzi karena harus memperbaharui visa tinggal. Keduanya lalu kembali untuk menetap dan membangun suku Bauzi selama 20-an tahun. Pada tahun 1989 hingga 1993 dan 1995, tim GIDI (Gereja Injili di Indonesia) juga pernah melakukan survei dan mengunjungi wilayah Oisia dan Fokidi. Hasil survei ini lalu diikuti pengutusan seorang penginjil asli Papua bernama Jinip yang pindah dari Waikiadi ke Neao (Siloadi). Ia selama dua tahun (1997-1999) melakukan pembinaan kepada orang Bauzi di Kampung Fona dengan mendapat bantuan dari penginjil GIDI.

Selain itu, Jinip dalam pekerjaannya juga disokong Iris Bouwman dan Jannigje Holster. Pada tahun 1999 sebuah tim yang dipimpin seorang pekerja misi bernama Stefanus masuk ke Fona untuk membangun lapangan terbang. Hanya saja, lapangan terbang itu belum sempat diselesaikan karena Jinip meninggal. Selama dua tahun (2000-2001), sejak kematian Jinip tidak ada pembinaan lagi kepada masyarakat di Fona. Selain itu hubungan lewat radio juga terputus. Kemudian pada tengahan 2002 hinggaawal 2003, hubungan dibuka kembali melalui Soleman Simbu dan bapak Senen. Pembukaan hubungan ini berdampak langsung pada pembangunan lapangan terbang dan pembinaan masyarakat di kampung Fona dan Neao. Hubungan dilanjutkan lagi pada tahun 2003 dengan kunjungan Iris Bouwman, Jannigje Holster, Johanes Van Brussel, Pieter Visser, dan Victor Jacobus dari Yayasan Amal Kasih Papua.

Kunjungan ini dilakukan guna melihat kelanjutan pelayanan dan hasil pekerjaan misionarisdi wilayah ini. Dari sana mereka membawa 2 anak asli suku Bauzi dari Kampung Neao (Siloadi) bernama Yesum Tamalo dan Paulus Ekia untuk dibina dan disiapkanke Sekolah Alkitab di Jayapura. Ini dimaksudkan agar mereka nanti kembali membangun masyarakatnya.Pada tahun 2004 pekerjaan dan pelayanan dilanjutkan oleh Soleman Simbu dengan bantuan Mission Training Centre(MTC) Wamena yang pindah ke Sentani untuk mempersiapkan lapangan terbang, mengajar sekolah peradaban, membantu penyerjemahan Alkitab dan lain-lain. Lalu pada 2005 datang lagi kunjungan Pieter Visser dan Reiner Visser selama 1 bulan untuk melihat keberadaan suku Bauzi. Mereka lalu membuka klnik kesehatan, membantu proses perluasan lapangan terbang dan melakukan pekerjaan lain.

Kemudian di tahun 2008 ada kunjungan kembali ke Fona yang dilakukan untuk melihat perkembangan masyarakat dan lapangan udara yang sudah mencapai 450 meter. Kunjungan ini dilakukan Pieter Visser dan Victor Jacobus selama 2 bulan.Tapi saat itu Soleman Simbu telah selesai melakukan pekerjaan dan kembali ke kota bersama-sama. Selajutnya usaha pembangunan lapangan terbang dilanjutkan oleh Paulus Ekia, pria asli Fona yang telah selesai mengikuti pendidikan bahasa dan Alkitab selama 2 tahun di Kota Jayapura. Paulus lalu menyelesaikan lapangan bersama masyarakat sehingga atas jasanya ia diangkat menjadi kepala Kampung Fona. Ia juga membuka hubungan dengan Pemerintah Kabupaten Mamberamo Raya sejak 2009.

Pada 2 Agustus 2010, melalui kerja sama dengan Pdt. Moses dari GIDI, penerbangan Tariku, Dinas Perhubungan Provinsi Papua dan Yayasan Amal Kasih serta Iris Bouwman, telah diresmikan lapangan terbang Fona. Beberapa hari kemudian, yakni tanggal 26 Agustus 2010, kunjungan kembali dilakukan dengan mengutus seorang misionaris perempuan Papua bernama Yulianti Kasmando ke Kampung Fona . Ia diutus guna melakukan pekerjaan misi seperti membantu masyarakat dan menolong penerjemahan bahasa Bauzi. Dia juga mempelajari dialek bahasa Bauzi dan melakukan pekerjaan lain. Dalam kunjungan tersebut ikut para misionris lama seperti, Iris Bouwman, Janningje Holster, Pieter Visser dan Meno Visser untuk mempersiapkan semua kebutuhan bagi misionaris Papua disana. Kini misi penginjilan dan pelayanan ke suku Bauzi terus dilakukan.

Kampung Fona

Kampung Fona kini menjadi salah tempat bermukim suku Bauzi yang berasal dari beberapa tempat. Kampung ini terbentuk dari hasil perintisan para misionaris. Disebut Fona karena suku Bauzi penghuninya berasal dari empat kampung terpencil yakni, Fokri, Oisia, Neao dan Aupidate. Tapi awalnya suku Bauzi lebih banyak bermukim di Kampung Neao. Kampung-kampung itu kini masuk dalam wilayah Distrik Kay, Kabupaten Mamberamo Raya. Misioraris-misionaris perintis seperti Dave dan Joice Briley (asal AS) maupun Iris Bowman dan Janny Holster (asal Belanda) melakukan survei pertama di sekitar wilayah ini pada tahun 1984 dan 1985.

Survei itu dimulai dari wilayah mata air Derapos, sebuah kampung penghubung untuk menjangkau suku Bauzi. Saat itu survei dilakukan para misionaris dengan menggunakan helicopter karena sulitnya medan. Akses ke suku Bauzi di Kampung Fona sejak awal juga sangat sulit. Untuk sampai di kampung ini bisa menggunakan perahu motor yang menempuh perjalanan berhari-hari melawan arus dari kepala air sungai Mamberamo. Selain itu bisa dengan jalan kaki yang membutuhkan waktu berhari-hari. Sulitnya akses ke Fona membuat para misionaris dan pekerja misi yang ingin melakukan perjalanan darat ke Fona harus mendaki gunung, menuruni lembah hingga menerobos hutan lebat dengan penuh resiko. Kini Kampung Fona telah dihuni oleh sejumlah penduduk Bauzi, namun jumlahnya belum seberapa.

Menurut Victor Yakobus dari Yayasan Amal Kasih, jumlah penduduk di kampung itudiperkiran sekitar 200-an jiwa. “Belum ada data pasti karena warganya sering berpindah-pindah,” kata dia. Menurutnya, dari hasil perkerjaan dan pelayanan para misionaris, kini telah dibangun lapangan terbang perintis di Kampung Derapos sepanjang 800 meter. Dibangunnya lapter ini telah membantu mempermudah akses ke suku Bauzi di beberapa tempat, termasuk ke Fona. Pada tahun 2008, para misionaris bersama penduduk setempat juga telah merintis lapangan terbang di Kampung Fona dengan panjang landasan mencapai 450 meter. Dengan terbukanya akses perhubungan udara ke suku ini, dirasakan cukup membantu kerja-kerja para misionaris dan pelayanannya.

Hal itu terlihat dari dibangunnya sebuah gereja sebagai tempat ibadah dan para misionaris juga membangun sekolah sederhana untuk mengajarkan pelajaran literasi (membaca dan menulis) bagi warga Bauzi di Fona. Selain itu misionaris juga membangun klinik kesehatan, tapi masih terbatas dalam pengobatan. Yang disayangkan sejak suku Bauzi dijangkau misionaris tahun 1985, bantuan Pemerintah Daerah bagi suku ini belum nampak. Kondisi ini membuat para misionaris dan pekeja sosial kesulitan membawa suku Bauzi di wilayah Mamberamo ke peradaban yang lebih baik. “Saya sampai rasanya mau menangis karena pekerjaan yang kami lakukan di suku ini begitu berat,” ungkap Yulianti Kasmandu, misionaris perempuan Papua yang telah diutus Yayasan Amal Kasih ke Suku Bauzi di Fona sejak Agustus 2010 lalu.

Di Kampung Fona juga belum ada fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memadai. Tidak ada guru atau tenaga medis seperti dokter, mantri dan bidan. Selama ini pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi penduduk Bauzi semua dijalankan para misionaris dan pekerja misi. Pada sisi lain, kehidupan alami yangsangat sederhanapun tak membuat suku ini lepas dari serangan penyakit.Kondisi alam liar yang menjadi istana suku Bauzi justru membuat mereka sering menderita berbagai penyakit seperti, malaria, kusta, penyakit kaki gajah (filariasis), korengan, kurang gizi pada balita, kurang darah (animea) pada ibu hami dan ibu menyusui hingga kematian balita. Ketiadaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan juga membuat para wanita Bauzi sering melahirkan di tengah hutan dengan menghadapi resiko kematian.

Meskipun kini kampung-kampung di sejumlah wilayah lain telah menikmati dana Otonomi Khusus dalam bentuk Program Respek, namun suku Bauzi sama sekali tidak tersentuh. Mereka seperti masih hidup di dunia lain yang tak mengenal peradaban modern. Ironis memang jika membayangkan keberadaan suku Bauzi yang kini hidup di salah satu wilayah paling terisolir di pedalaman Mamberamo. Mungkin sudah saatnya Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mamberamo Raya lewat instansi teknis dapat memperhatikan keberadaan suku ini. Mudah-mudahan masih ada waktu agar lewat pembangunan, suku Bauzi bisa sejajar seperti suku-suku lain di Tanah Papua. (Julian Howay)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun