Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

6 Alasan Kenapa Anak-anak Butuh Dilarang

15 Agustus 2021   15:36 Diperbarui: 15 Agustus 2021   15:39 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: iluvtari.com

Sekira lima sampai sepuluh tahun ke belakang, sempat beredar narasi tentang "haram"nya mengucap kata "tidak" dan atau "jangan" pada anak-anak. Alasannya, tidak dan jangan bersifat konotatif. Konon, anak-anak justru terinspirasi melakukan hal yang dilarang tersebut.

Masalahnya, Luqman yang Bijaksana, dikatakan dalam Al-Qur'an pernah berpesan pada anaknya, "... janganlah kamu mempersekutukan Allah ...." Masa sih Al-Qur'an keliru?

Dan setelah baca sana sini, lalu punya anak sendiri, aku punya kesimpulan. Yang tidak baik itu, kita melarang tanpa memberi alasan. Seringkali orang tua menganggap remeh nalar anak-anak. Yang membuat mereka penasaran itu, kenapa nggak boleh? Bukan karena kata tidak atau jangan.

Dari brightside kusarikan, kenapa anak-anak harus terbiasa mendapat kata tidak/jangan. Lebih tepatnya, boleh dilarang, tak harus dituruti segala maunya.

1. Anak tahu aturan.

Mengatakan tidak pada anak-anak adalah agar mereka tahu, hidup ini dibatasi oleh aturan. Seiring bertambahnya usia, mereka harus paham bahwa dunia tidak akan memberi semua yang mereka mau. Kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Orang yang tak tahu aturan cenderung tersisih, karena dianggap tidak beradab.

2. Membangun kemandirian.

Mengubah "tidak" menjadi "silakan" dengan tangan mereka sendiri, akan membangun harga diri anak. Contoh konkretnya, jika anak menginginkan sesuatu, orang tua bisa memotivasi mereka untuk mendapatkan yang mereka inginkan, alih-alih langsung memenuhinya. Misalnya membeli sepeda dari uang tabungan mereka sendiri. Anak juga jadi tahu, sesuatu butuh diupayakan.

3. Membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Tidak selalu yang diinginkan anak harus dipenuhi. Ada kalanya mereka diajak menganalisis, apakah yang mereka minta itu adalah kebutuhan atau keinginan. Sebab keinginan, berapa banyak pun dipenuhi, akan datang lagi dan lagi. Sementara kebutuhan lebih urgent untuk dipenuhi dan mengandung konsekuensi jika tidak didapatkan.

Baca juga: Jangan Percaya Keluarga yang Tampak Bahagia di Medsos

Sekalipun anak menginginkan sesuatu yang bisa ia beli dengan uangnya sendiri, orang tua tetap berwenang mengajak mereka mempertimbangkan. Sebab hal yang sama akan mereka hadapi di masa depan, dalam skala yang lebih besar, konsekuensi yang lebih serius.  

4. Berlatih sabar.

Mengatakan tidak pada anak, entah dalam rangka melarang atau menunda, asalkan disertai dengan alasan, akan membuat mereka paham bahwa sesuatu butuh proses. Misalnya, anak ingin makan mi instan di luar jadwal (hanya selisih beberapa hari dari terakhir menyantap mi instan), orang tua harus bertahan untuk tidak merusak aturan yang sudah dibuat. Tentu dengan penjelasan, tentang risiko mengonsumsi mi instan terlalu sering.

5. Belajar disiplin.

Semua anak punya jurus untuk menaklukkan orang tuanya. Yang paling sering adalah tantrum, karena dengan mengamuk, orang tua biasanya "kalah". Entah karena malu atau tak tega.

Baca juga: 9 Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak

Padahal berdiskusi adalah solusi yang lebih baik ketimbang menjadikan mereka raja dengan cara yang keliru. Ajak anak berbincang tentang keinginan mereka, beri alternatif. Sekali kita memenangkan mereka karena amarahnya, itu akan jadi senjatanya seumur hidup. Bukan perkara untung rugi orang tua, kebiasaan ini membentuk karakter anak hingga mereka dewasa.

6. Menghargai orang lain.

Anak makan pilih-pilih? Jangan terlalu dituruti. Yang penting adalah sehat, bukan cuma kenyang. Intinya di komunikasi. Beritahu mereka, bahwa untuk menghidangkan yang ada di atas meja, ayah atau ibu telah mengorbankan waktu dan uang demi keluarga.

Dengan komunikasi, kita menumbuhkan empati. Diskusi dua arah membuat mereka merasa dihargai dan pada akhirnya mampu menghargai orang lain. Tak apa ngobrol lebih panjang, alih-alih menitah singkat, "Makan apa adanya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun