Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

3 Etika Sederhana Mengirim Naskah ke Media

26 Mei 2021   18:40 Diperbarui: 26 Mei 2021   18:43 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lama aku tidak mengirim naskah ke media, blog pribadi saja masih belum optimal diisi setiap hari. Tapi karena ketertarikanku pada sastra, juga keinginan untuk mengapresiasi karya penulis-penulis lain, maka kubuka peluang bagi mereka yang ingin cerpennya dimuat di blog.

Honornya tak banyak, tapi dibayar sekali putus. Jadi tak perlu menunggu views yang cukup untuk menerima pembayaran.

Dulu sekali, waktu aku masih rutin mengirim karya, ada informasi penting yang dibagikan rekan-rekan terutama para senior, bagaimana etika mengirim naskah ke media. Karena sudah terbiasa, kuanggap tidak istimewa lagi.

Namun ketika aku sendiri membuka ruang untuk teman-teman mengirim karya, baru kusadari, hal-hal yang menurutku biasa, ternyata tidak dipahami banyak orang. Kamu berniat mengirim cerpen atau naskah lainnya ke media? Simak etika standar berikut, siapa tau ada yang terlewat selama ini.

1. Baca dengan Saksama

Di keseharian, aku paling malas mengulang-ulang instruksi dan informasi. Aku gampang bosan menyampaikan hal yang sama berkali-kali. Begitu pula di blog. 

Sudah kutulis bahwa penerimaan cerpen masih dibuka selama artikelnya masih ada, namun tetap saja banyak yang bertanya. Apa masih menerima kiriman cerpen?

Ya maaf kalau gak kujawab. Tapi pikir deh, kalau sekelas blogger remeh sepertiku saja malas membalas, apalagi editor media besar.

Jadi untuk cerpen yang masuk di luar syarat yang sudah kusampaikan, ya memang gak bakal dimuat. Kubaca aja nggak. Misalnya ketika kusyaratkan maksimal 1500 kata, lalu yang dikirim 2000 kata. Ya sudah, kalau orang tak mau membaca, untuk apa kubaca karyanya.

Apalagi yang mengirim naskah di badan surel (bukan di lampiran). Hm, makin tak layak disebut penulis. Biarlah dia belajar merasakan beratnya ditolak dulu, baru menikmati manisnya hasil berproses. Dengan catatan, jika mau belajar.

Baca juga: Aku Kapok Jadi Comblang!

2. EBI Manusiawi

Kalau kamu salah mengetik sekadar jadi sekedar, tidak tau bahwa "peduli" itu tanpa huruf R, atau saltik sedikit semisal kurang huruf atau salah susun, aku masih bisa maklum. Tapi kalau ejaan dan susunan kalimatmu begitu tak karuan, sebaiknya perbanyak membaca saja dulu ketimbang menulis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun