Aku lupa namanya. Yang kukenang hanya helm merah yang nampak keren, jauh melampaui motor bebek yang dibawanya ke kampus. Anggaplah namanya X, biar lebih misterius.
Kami sekelas namun tak begitu akrab. Ia sering pulang lebih dulu, hanya sesekali nongkrong pada pergantian kelas. Jika dengan si A aku bisa berdiskusi tentang demo Trisakti, dengan B kami membahas SOAD, dengan X nyaris tak pernah ada bahasan yang menarik.
Sampai suatu ketika, tinggal kami berdua yang ada di lobi, entah karena apa. Lalu ia menyapaku. "Syarifah," katanya. Khas orang yang cuma kenal nama. Sebab teman-teman yang akrab biasa memanggilku Tari.
"Bisa tolong sesuatu nggak? Gue butuh duit lima puluh. Pinjem dulu, besok dibalikin. Paling lama seminggu deh!"
Sebagai anak rantau, uang 50.000 rupiah tahun 2003 itu besar. Tapi karena teman, kupikir tak ada salahnya juga membantu. Meski kami tidak akrab. Dia meyakinkan, tak sampai seminggu pasti uang itu dikembalikan.
Sehari dua hari berikutnya, ia masih santai saat bertemu denganku. "Besok ya!" katanya, meski aku belum menagih.
Mendekati sepekan, ia menghindari. Lewat tujuh hari, ia seperti lenyap begitu saja. Jika aku menanyakan pada teman, apakah mereka melihat X, teman-teman seperti merasa ada yang kusembunyikan. Padahal satu-satunya rahasia adalah ia punya utang, aku tak mau mencemarkan namanya.
Bagiku waktu itu, orang punya utang adalah aib. Aku tidak ingin mempermalukan teman. Tapi sebagian teman seolah curiga aku ada apa-apa dengan X. Membuatku sungkan bertanya-tanya lagi.
Ketika aku bercerita pada nenek tempat aku sering mampir sampai sesekali numpang tinggal, tanpa tedeng aling-aling dia mengomeliku.
"Lu kire duit segitu dikit! Emangnye itu cowok ganteng ye, sampe-sampe lu rela ngasih dia duit lima pulu!"
Baca juga:Â Para Cewek Wajib Baca Ini!