Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat Tetanggaku Susah Payah Klaim Tanah, Ada WNA yang Bisa Beli Pulau

1 Februari 2021   12:42 Diperbarui: 1 Februari 2021   12:46 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Asri (Kompas.com/Nurwahidah)

Sedikitnya tiga kali di Kompasiana aku menyinggung, bagaimana rumitnya mendapatkan sertifikat tanah yang sudah ditinggali orang tuaku sejak tahun 1970-an. Pada akhirnya kami memang mendapatkannya.

Tapi para tetangga yang berkali-kali jadi korban oknum Pemda, telanjur kapok sehingga tak ikut program pembebasan lahan yang sudah digagas dewan sejak tahun 90-an.

Awal 2018, seorang pegawai Setda memperlihatkan kepadaku satu bundel keputusan menteri terbaru, terkait perlepasan aset negara.  

"Undang-undang sudah diganti. Kalau kamu dak cepat bayar ini, dak bakal ado lagi perlepasan lahan model gini. Besok, kalau negara melepaskan aset, termasuk tanah, sistemnyo lelang. Dak peduli ado warga yang sudah puluhan tahun di situ. Pokoknyo siapo punyo duit, diolah yang menang!"

Terbuktilah ucapan si bapak. Ketika para tetangga melihat kami sudah memiliki sertifikat, baru mereka berduyun-duyun datang ke bank yang ditunjuk. Dikira beli tanah sesimpel beli jengkol, bayar lalu dapat sertifikat.

Baca juga: 5 Hal Unik yang (Tidak) Hanya Ada di Jambi

Konon, sebagian di antara mereka mendatangi Setda dan BPN untuk turut mendapatkan sertifikat, tapi ditolak karena waktu pengurusan telah selesai dan UU Pertanahan lama tak lagi berlaku.

Sepertinya jika tak ada perubahan, maka mereka yang belum memiliki sertifikat hanya tinggal menunggu waktu untuk digusur. Sebab lokasi tanah tersebut terbilang strategis, di tengah kota. Siapa yang salah? Bukan pemerintah maupun warga, tapi oknum yang bermain di antara mereka.

Pulau Lantigiang Seharga 900 Juta

Lagi-lagi "oknum" bermain di antara peraturan dan ketidaktahuan. Pulau Lantigiang, Kawasan Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, telah dibeli oleh seorang perempuan yang bersuamikan warga Jerman.

Aku tak paham soal hukum tanah. Tapi sebagai awam, garis besar bahwa pulau tidak boleh dikuasai WNA, sudah diketahui khalayak sejak lama. Kukutip dari kompas, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TB Haeru Rahayu, mengatakan, "Pulau-pulau di Indonesia tidak boleh diperjualbelikan kepada siapa pun."

Dari sumber lain disebutkan, bahwa jikapun seseorang atau perusahaan menguasai sebuah pulau, maksimal hanya 70% luas pulau tsb dan masih ada sekian banyak aturan lagi. Kalau dibandingkan, tanahku yang berukuran kurang dari 3 tbk, butuh tiga tahun (24 tahun jika dihitung dari sejak diwacanakan tahun 1996) untuk mendapatkan sertifikat. Lalu bagaimana dengan Pulau Lantigiang yang luasnya sekira 10 hektar?

Apalagi pulau yang dikabarkan tak berpenghuni itu adalah bagian dari taman nasional. Bagaimana bisa dikuasai perseorangan, setengah WNA pula!

Baca juga: Perubahan Iklim di Indonesia, Karena Apa?

Dari hasil penyelidikan awal polisi, Asdianti, pengusaha yang membeli Pulau Lantigiang telah membayar uang muka sepuluh juta rupiah dari total harga sembilan ratus juta kepada Syamsul Alam, sebagai penjual pulau. Siapa pula Syamsul Alam? Masih misteri.

Jika aturan sudah jelas, tapi masih kecolongan juga, berarti ada oknum yang bermain-main di antara mereka. Mungkin terlalu naif membandingkan secuil tanah di Kota Jambi dengan sebuah pulau di Sulawesi Selatan.

Tapi jika dilihat dari pengalaman Indonesia yang sudah-sudah, pulau dikuasai perorangan bukanlah hal baru. Masih ingat kasus Pulau Cubadak di Sumbar tahun 2014? Atau Pulau Buton beberapa bulan silam?

Mungkin itu jugalah yang membuat Syamsul Alam-Asdianti berani bertransaksi atas pulau milik negara. Ada contoh pendahulunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun