Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Underestimate

24 November 2020   16:12 Diperbarui: 24 November 2020   16:20 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri Syarifah Lestari

Dulu ada sistem rayon (mungkin sekarang zonasi?) yang untuk mendapatkan sekolah negeri dari satu jenjang ke jenjang berikutnya harus sesuai rayon tersebut.

Untuk masuk ke SMP Negeri terdekat, NEM-ku tak cukup. SMP terdekat lainnya, karena beda kecamatan, jadi tidak satu rayon. Butuh "jalur tertentu" untuk bisa mendaftar ke sana. Maka datanglah seorang guru ke rumahku.

Mamak (dokpri)
Mamak (dokpri)
Guru ini orang terpandang di wilayah kami, guru agama di sebuah SMP Negeri. Ngobrol dengan Mamak tentang sekolah dan blabla lainnya. Setelah dia pulang, Mamak mengabari anak-anaknya.

"Bapak tu nawari Tari masuk sekolah dio. Tapi beli kursi." Beliau ucap begitu sambil tertawa. "Dak ado sejarahnyo anak Mamak nyogok-nyogok!"

Jujur, meski masih kecil, aku menaruh kecurigaan pada Mamak. Bukan tak suka praktik sogok, tapi Mamak tak punya duit untuk membeli kursi. Banyak gaya, pikirku.

Jaminan Doa Mamak 

Tak pernah kusesali bahwa aku tidak menempuh pendidikan SMP di sekolah negeri. Tapi bahwa Mamak tidak mau membayar jalur khusus, itu masih kuyakini sebagai ketidakmampuan berbalut prinsip. Kata orang Jambi, entah iyo entah idak.

Awal tahun 2000, seorang tetangga bercerita di warung Mamak. Ia baru saja menghabiskan uang lebih dari 100 juta untuk meluluskan dua anaknya. Sekian puluh juta untuk si kakak menjadi PNS, sekian puluh lagi untuk si adik lulus sekolah polisi.

Kisah seperti itu biasa dibagikan oleh para pembeli. Sambil memilih dan menawar barang dagangan, tetangga bercerita tentang suaminya yang pengangguran, anaknya ranking pertama, dll.

Kupikir tentang lulus PNS dengan "bayar di awal" akan menginspirasi Mamak. Sebab waktu itu bolak-balik pemerintah membuka keran penerimaan pegawai negeri. Kalau dulu mungkin untuk makan sehari-hari saja susah, alih-alih nyogok. Barangkali sekarang ada peluang entah tabungan siapa untuk meluluskan satu di antara anak-anaknya.

Ternyata prasangka burukku tak terbukti. Tidak sepatah kata pun terucap oleh Mamak. Yang mau tes ya ikut tes lah sana! Mamak cuma mendoakan.

rumah masa kecil kami (dokpri)
rumah masa kecil kami (dokpri)
Bahkan ketika kakakku dan suaminya ikut peruntungan menjadi PNS, kupikir Mamak mendatangi rumah mereka jauh-jauh di luar kota untuk memberi dukungan dana. Sebab "modal awal" berupa kebun sawit dsb sudah ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun