"Modal kartu pers, sekali jalan be dapat amplop dari sano sini. Sepanjang jalan tu," ia menunjuk deretan ruko, "gudang Cino sampe Melayu. Gentar galo kalo wartawan sudah datang!
Cuma di gudang aku dio dak dapat apo-apo. Dio nak ngancam angkat berita apo, aku dak jual miras." Yang barusan, kisah belasan tahun lalu. Kalau sekarang mungkin wartawannya bakal dilawan dengan live streaming medsos.Â
Dan wartawan model ini, tak butuh pengalaman menulis maupun jaringan. Cukup kartu pers dan rasa tak tahu malu. Jangan sampai deh! Barangkali orang semodel kakakku inilah, karena perbuatan segelintir wartawan, berpikir menulis hanya tinggal corat coret atau ketak ketik.
Baca juga: Pengalaman Menulis di Platform yang Sekarang Bangkrut
Salah seorang kenalan, dengan santai mengirimiku foto. "Tulis ini, ya!" katanya.
Dia mengenalku sebagai seseorang yang suka menulis. Mungkin dikira hanya hobi seorang pengangguran. Nyaris setiap hari aku membagi link artikel di medsos dan aplikasi chatting. Dan itu hanya hobi, ya Allah ....
"Biar namaku masuk di Google," tambahnya.
Pengin kujawab mau bayar berapa, tapi khawatir tak sopan dan malah memutus silaturahmi. Lumayan juga kan, gara-gara dia aku dapat ide menulis artikel ini.
Belum hilang rasa sebalku pada permintaan kenalan yang itu. Datang request kosong dari kenalan yang lain.
Diperdengarkannya sebuah kajian padaku, "Nanti buat tulisan tentang ini, ya!" pesannya.
"Bro, seandainya menulis itu sesimpel ngupil, lu juga bisa kan nulis sendiri." Tapi jawaban itu hanya berbunyi di hati.