Terinspirasi kompasianer Hennie Triana, aku teringat beberapa orang yang punya kemiripan masalah dengan apa yang sudah beliau bahas.
Tapi tenang, gak mungkin aku menulis artikel yang sama. Hanya mengulas dari sudut lain, dibumbui analisis ala emak-emak sotoy.
Baca juga: Dari Utang HP Sampai Tawaran Laba 3 Juta per Bulan
Kak Hennie (sok akrabnya aku!) berkisah tentang kenalannya yang sama-sama orang Indonesia, yang mereka bertemu di luar sana. Orang-orang ini, karena bersuamikan bule, diasumsikan punya harta yang banyak oleh keluarga di tanah air.
Karena status "kaya" tersebut, keluarga  yang bersangkutan merasa berhak untuk mendapat kiriman uang belanja dari luar negeri sana. Bukan orangtua/mertua saja, tapi sanak saudara handai taulan. Dikira dolar tinggal nyentong!
Berdasarkan apa yang juga sampai ke telingaku, sebenarnya kasus serupa tak hanya menimpa mereka yang bersuamikan bule. Dan derita yang berlarut-larut itu bukan hanya kesalahan keluarga, tapi justru diawali oleh mereka sendiri.
Orang pertama, kuberi nama A. Ia adalah sulung dari sekian orang adik. Suaminya bukan bule, tapi pria lokal yang bekerja sebagai tukang ojek.
Karena statusnya sebagai sulung, ia merasa wajib memberi jajan jika keponakan datang ke rumah. Jika lebaran, tak boleh terlewat amplop untuk semua keponakan dari dua keluarga besar.
Keponakan ulang tahun? Dia yang sibuk membuatkan kue gratis, lengkap dengan kado mahal. Padahal saudara A tahu, A hanya seorang pegawai honorer dengan pendapatan suami yang jauh dari kata lebih.
Nahasnya lagi, sepuluh tahun menikah, A belum dikaruniai anak. Jadilah semua saudara menimpakan kebutuhan remeh temeh anak padanya.
Aku memahami insting kakak seorang A. Karena kakakku pun begitu, kalau dituruti, tiap hari aku minta lauk sambil ongkang-ongkang depan laptop, juga bakal diberi. Tapi punya malu kan?