Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teman Kerja Vs Teman Main

6 Juli 2020   21:13 Diperbarui: 6 Juli 2020   21:09 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ben Duchac on Unsplash

Waktu masih ngantor, kebanyakan karyawan nyambi jualan. Ada yang berkesinambungan, ada yang momentual, ada pula yang angin-anginan, tergantung mood dan kebutuhan. Aku mungkin tergolong yang terakhir.

Barangkali karena dagang ala main-main itu, ada teman yang langganan usil. Beli tidak pernah, ngusik jadi rutinitas.

Di antara sekian banyak tingkahnya jika aku mulai dagang, ada satu yang paling kuingat. Waktu itu dekat Idulfitri. Sambil mengisi toples sendiri, kutawarkanlah snack yang ada di gudang kakakku.

Salah seorang kakakku adalah pedagang grosiran, biasanya dekat lebaran aku bisa ikut menjual minuman sampai puluhan dus, bersama kurma dan macam-macam kebutuhan lebaran. Selisihnya lumayan untuk persiapan THR keponakan.

Kali ini aku tertarik menjual permen jelly warna warni salut gula. Sebelum menawarkan ke teman-teman, sudah kucek dulu label halal, tanggal kedaluwarsa, juga bahan-bahannya. Bukan semata mengantisipasi lidah temanku itu, tapi aku sendiri biasanya begitu jika ingin membeli sesuatu.

Setelah semua aman, kubawa satu pack untuk promo di kantor.

Tadinya aman, orang bertanya ini itu, ada pula yang memesan. Kemudian datanglah dia, basa-basi tanya harga. Feelingku sudah tak enak, mana kantor sedang ramai.

Dan benar saja, tanpa rasa bersalah dia bilang, "Coba beli di situ (dia menyebutkan tempat), harganya lebih murah. Barang-barang kayak gini  banyak di sana, biasanya murah-murah. Ini paling cuma sekian (disebut harga di bawah banderolku, tapi aku tak ingat tepatnya)."

Biasanya, harga kakakku adalah yang termurah di kota ini. Karena beliau termasuk distributor besar. Kadang malah kakakku menantang, sambil bercanda tentunya, "Kalo ado yang lebih murah dari aku, kugendong sampe Palembang!"

Tapi aku malas berdebat. Apalagi sedang puasa, bikin rusak pahala. Untungnya teman-teman lain tahu tabiatnya. Mereka tak merespons ucapan si usil, malah ikut sebal dengan tingkahnya yang tak hilang-hilang sejak dulu.

Beda hal ketika aku menerbitkan novel pribadi secara indie. Di salah satu komunitas literasi, ada semacam kesepahaman tak tertulis antaranggota. Jika ada teman yang menerbitkan buku, haram minta gratisan!

Kalau perlu, beli dengan harga lebih. Bahkan wajib turut menawarkan ke orang lain, alias bantu promosi. Jika sedang luang, teman-teman juga bersedia mereview tanpa imbalan. Lewat medsos, blog, dsb.

Dua sikap yang sangat berkebalikan. Sampai sekarang masih jadi PR di kepalaku, itu semua karena faktor lingkungan (yang satu di tempat kerja, satu lagi tempat "main") atau tabiat pribadi?

Dan bodohnya, kenapa sekarang aku harus mengingat-ingat kenangan buruk itu? Padahal sudah berlalu sekian tahun. Aku juga sudah telanjur sering belanja pakaian di tempat teman yang usil itu, padahal sekali pun tak pernah ia membeli daganganku.

Kenapa harus ingat? Bikin rusak hati, ah. Mungkin saking tak ada bahan tulisan. Dasar aku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun