Suamiku tahu-tahu beli bawang merah lebih banyak dari biasanya. Panic buying? Enggak, beliau cuma panik memikirkan anak dan istrinya. Belanjaan yang lain biasa saja.
Tiba di rumah, langsung asyik dengan belanjaan. Biasanya beliau lebih merekomendasikan beli lauk, daripada repot-repot masak. Kali ini malah beli bahan mentah dan sibuk masak sendiri. Jadi penasaran, mau masak apa sih?
Ternyata ekspektasiku ketinggian, si bapak cuma mengupas bawang lalu mengirisnya dalam dua piring kecil. Lalu meletakkan masing-masing piring di kamar kami dan kamar anak.
"Hoaks itu, Bi," tegurku.
Pasti beliau baca pesan yang  beredar di berbagai WAG tentang bawang merah mampu menyerap virus, termasuk Covid-19.
"Iya sudah tahu. Tapi kan Mamak sering urut anak-anak pakai bawang merah. Mungkin ado benernyo," katanya.
Ya sudah, aku teruskan mengetik artikel. Tapi hanya mampu bertahan sebentar, kepalaku langsung pusing. Perut pun mual bukan main. Apa lagi kalau bukan efek bawang?
Jadi teringat waktu hamil dulu, setiap aroma yang tercium di masa mabuk trimester awal (walaupun saat itu aromanya kusukai) akan jadi aroma yang kubenci saat ini. Karena memori di kepalaku langsung mengulang masa mabuk itu.
Ada kubahas sedikit di blog pribadi, efek aroma yang tertangkap indra penciuman pada otak seseorang.
Ternyata aroma irisan bawang tak hanya menggangguku. Anak-anak juga kabur dari kamar mereka, bahkan lebih dulu sebelum aku ngomel-ngomel sambil memindahkan sepiring bawang itu ke luar kamar.
Lama kami di luar, sambil aku terus sendawa (entah ini efek positif atau sebaliknya). Sampai kemudian suami membawa pergi piring-piring bawang tadi entah ke mana.