Aku pernah baca artikel psikologi yang salah satu poinnya adalah, jangan memberi alasan tanpa diminta.
Dulu sekali, ketika aku didapuk menjadi ketua sebuah komunitas menulis, saat undangan rapat hanya dijawab oleh anggota dengan ucapan "Maaf, tidak bisa." Aku tak ambil pusing alasan ketidakbisaannya.
Entah memang tidak bisa, atau tidak mau. Itu hak dia.
Kemudian, ketika aku bergabung lagi dengan sebuah komunitas, di mana pada kelompok ini aku tergolong muda, ada hal yang berbeda.
Ketika kita menyampaikan "tidak bisa" di forum, maka ketuanya akan bertanya, kenapa?
Dengan begitu, ketua dan anggota lain jadi tahu, bahwa yang bersangkutan sedang punya masalah. Akhirnya masalah tersebut dicarikan solusinya bersama.
Aku pun insaf. Ternyata kalau orang izin tidak mengikuti sebuah kegiatan, berarti dia punya masalah. Dasar aku, gak sensitif!
Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku butuh penghidupan. Dan mulailah aku bekerja di sebuah lembaga. Ketika ada ajakan rapat di luar jam kerja, setiap orang yang tidak bisa ikut akan mengemukakan alasannya.
Apa daya aku yang tidak mau ikut karena malas. Alangkah tak sopannya menyebut alasan itu di depan atasan yang selain lebih tinggi jabatan, lebih tua usianya.
Alhasil aku (bersama kebanyakan karyawan, mungkin) antara suka atau terpaksa akhirnya memilih datang ke kegiatan tertentu yang kerap kali tanpa ongkos ojek (gak usah sebut taksi, ketinggian).
Salah satu kenalan pada status BBM-nya memajang quotes (lebih kurang berbunyi), "Kalau gajimu 10 juta tapi bekerja seperti digaji 20 juta, maka sisanya akan diganti dengan rezeki yang tak disangka-sangka berupa kesehatan ... tapi jika kamu bekerja seperti digaji 5 juta, sisanya akan dibayar dengan kesempitan, penyakit, dst."