Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Berhaji adalah Prestise

9 Februari 2020   08:45 Diperbarui: 13 Februari 2020   13:48 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jemaah haji (Sumber: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)

Rukun Islam ada berapa? Lima.

Sebutkan! Mengucap dua kalimat syahadat, salat, puasa Ramadan, zakat, naik haji ... bagi yang mampu.

Gara-gara kalimat "bagi yang mampu", aku yang waktu kecil nonton TV aja numpang di rumah tetangga, tidak memasukkan naik haji dalam list kewajiban sebagai muslim. Manalah mampu!

Karena berpikir mampu itu adalah urusan materi. Faktor iman juga sih, hanya percaya yang konkret. Dan paling jelas, faktor usia. Namanya juga bocah, tahu apa?

Baru setelah dewasa sadar, kalau gak niat, ya memang gak bisa. Kemudian membaca lagi tentang pentingnya niat pada setiap ibadah, meski ibadah itu sendiri belum dilakukan. Juga tentang mental block yang justru membuat jalan jadi buntu bahkan sebelum ditempuh.

Bandingkan dengan mereka yang mentalnya sudah yakin, walau didukung kelaziman di kalangan sukunya. Yang akhirnya membuat kita berprasangka buruk terkait niat yang bersangkutan.

Yang kuceritakan ini adalah contoh kasus, tidak spesifik pada tokoh atau kelompok mana pun.

Jadi ceritanya, ada sepasang suami istri yang secara ekonomi bisa dikatakan cukup baik dibanding tetangga sekitar. Alhasil, keduanya mampu dan telah menunaikan ibadah haji. Diawali oleh istrinya, baru sang suami menyusul kemudian di tahun berikutnya.

Aku belum membaca tentang hukum atau urgensi walimah sebelum berangkat haji, tapi kalau tidak ada kewajiban, kelak aku akan pergi haji dengan tenang-tenang saja tanpa mengundang orang sekampung. Gak yakin sih, mereka bakal mendoakan. Ih, su'uzhon parah! Minimal aku bisa menata hati.

Dari salah satu keramaian, aku tahu kalau ibu yang itu akan naik haji. Oh, syukurlah. Semoga setelah berhaji dia gak siram-siram warung lagi tiap magrib sambil celingak-celinguk. Karena dosa syirik lebih fatal dari yang lain.

Setelah dia pulang dari Mekah, pun tak ada perubahan di masyarakat. Semua biasa-biasa saja, kecuali dia sendiri yang sedikit atraktif.

Ketika azan berkumandang, suaminya di rumah tenang-tenang menjaga warung. Sang istri, karena sudah haji, lintang pukang berlari ke masjid. Hm, jadi ingat kalimat "ilmu sebelum amal".

Pengin ngasih tahu, yang wajib ke masjid itu laki-laki. Kita sebaiknya di rumah saja (tapi tidak boleh juga melarang perempuan yang hendak ke masjid). Apa daya, aku belum hajjah. Belum cukup kasta untuk menasihati.

Di salah satu pagi yang syahdu, sebuah keributan merobek  ketenangan. Halah, kok jadi kayak cerpen.

Seorang siswa SMP jatuh dari sepeda motor. Anaknya tak terlihat, malah suara bantah membantah khas emak-emak yang membahana. Aku pasang telinga saja, malas mendekat.

"Jangan soklah, mentang-mentang sudah haji kayak iyo nian mulut tu biso ngutuk orang!"

"Aku kan cuma bilang dio jatuh gara-gara bohongi aku!"

"Budak tu luko, bukannyo ditolong malah disukur-sukuri. Dio jatuh karena memang nak jatuh, bukan karena mulut kau!"

Ah, sudah langsung tersimpulkan sedikit. Terserah kalianlah, gak ngefek juga ke toples kopiku. Dan memang, keributan itu perlahan hening sendiri.

Selanjutnya, diadakan walimah lagi. Sekarang giliran suaminya. Aku masih berharap, pulang dari Mekah nanti ada perubahan. Kan ramai yang datang, siapa tahu kali ini warga yang datang tak hanya makan, tapi sungguh-sungguh mendoakan mabrur dan selamat.

Walau pikiran jahatku berkata, ini hanya tuntutan suku.

Syukurnya, harapanku kali ini terpenuhi. Mungkin saat itu ada malaikat yang sedang melintas dan memandang harapanku sebagai doa. Ah, sok-sok makbul! Jelas-jelas banyak yang mendoakannya!

Sang suami, yang dulu kalau keluar rumah hanya pakai celana pendek ukuran bocah SD dan tak berbaju (yang membuat Mamakku ngomel-ngomel sambil buang muka), sekarang sudah jauh lebih rapi. Ke mana-mana dia pakai baju koko dan peci putih. Nah, gitu kan ganteng. Jadi kelihatan Pak Haji-nya.

Ah, dasar aku tukang iri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun