Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perhatikan Cara Bermain Anak, Kita Sedang Membesarkan Makhluk Apa?

20 Desember 2019   14:12 Diperbarui: 20 Desember 2019   14:13 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Si Kakak pulang menangis, ia sedih sekaligus merasa bersalah. Teman baiknya yang sedang bertengkar hanya ia tinggal sebentar, tahu-tahu sudah dikeroyok tiga orang. Tak hanya dikeroyok, mainannya pun dirampas oleh musuh anak itu.

Menurut cerita anak sulungku, ia dan temannya kemudian mendatangi rumah salah satu anak yang mengambil mainan mereka. Mungkin maksudnya seperti di sekolah, kalau dijahati, lapor guru.

Berharap mainannya dikembalikan, anak-anak ini justru dimarahi habis-habisan oleh ayah dari musuh mereka. Bahkan kaki kotor si anak yang disebabkan ia jatuh sendiri, diakui oleh anak tersebut akibat didorong oleh teman si Kakak.

Aku yang dengar ceritanya naik darah juga. Tapi apa aku harus datangi rumah itu untuk ambil bagian dalam keributan? Nggaklah.

Mungkin kalau anakku yang diperlakukan begitu, nampak di depan mataku. Pasti otomatis aku membelanya. Syukur itu tidak terjadi. Dan aku memilih meminta anak-anak bersabar saja, serta tidak lagi bermain dengan anak tersebut.

Pertama karena kejadian itu belum tentu benar sepenuhnya demikian. Sebab aku mendapatkan informasi versi anakku (yang tentu tak ingin disalahkan). Kedua, dalam keadaan yang tidak sedang terlampau emosi, aku bisa meyakini, bahwa sesungguhnya bukan kami yang rugi.

Untuk satu dua hari, atau bahkan hingga beberapa tahun ke depan. Anak dan orangtua itu mungkin merasa menang. Dan dalam perjalan waktu, mereka bisa jadi akan terus mengulang kebiasaan tersebut hingga menjadi tabiat keluarga.

Membenarkan kebohongan anak tanpa tabayyun, membela anak meski dia salah, dan tidak memperhatikan apa yang ia bawa pulang, adalah tabungan dunia akhirat orangtuanya. Tabungan ini menjadi karakter anak di masa depan. Dan balasan setimpal di akhirat kelak.

Berawal dari mencuri mainan, di masa depan ia akan mengambil alih lahan orang lain tanpa rasa bersalah. Dia terlatih.

Berawal dari berbohong menuduh didorong, pada masa dewasa ia akan memfitnah satu kelompok hingga mengadu domba dengan kelompok lain. Tanpa rasa bersalah. Apalagi dengan bayaran. Dia terlatih.

Aku bukan orangtua yang baik, hanya berusaha menjadi yang terbaik untuk anak-anakku. Berharap di masa tua nanti, aku tidak mendapati mereka menjadi sampah masyarakat. Atau tokoh publik yang dibenci karena ketamakan, korup, selingkuh, atau apa pun hasil dari tabungan kami sebagai orangtua. Na'udzubillah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun