Negara ini sudah berpengalaman menggelar pemilu beberapa kali di tingkat pusat dan daerah, bila masalah teknis masih tetap menjadi sorotan, berarti langkah-langkah pencegahan dan perbaikan memang tidak optimal dilakukan.
Tentu kita pernah mendengar peribahasa yang mengatakan, "keledai saja takkan mau jatuh di lubang yang sama".
Sementara mereka yang golput karena alasan ideologis, semestinya bukanlah masalah yang perlu dibesar-besarkan. Menurut saya, menjadi golput dalam kategori ini pun bisa dianggap sebagai sebuah pilihan politik. Mereka jangan disalahkan.
Bila ada yang harus disalahkan, salahkanlah para elit politik yang terlalu sering mengecewakan para pemilih. Bayangkan, pemilih sudah menggunakan hak suaranya saat pemilu, beberapa waktu kemudian yang dipilih ternyata berkhianat terhadap janjinya bahkan melakukan korupsi.
Pertanyaannya, buat apa juga memilih calon pemimpin yang ternyata hanya pembual janji dan di kemudian hari terbukti tak sekadar ingkar melainkan berkhianat terhadap sumpahnya sendiri?
Partai politik juga harus disalahkan karena ternyata tidak mampu mengajukan calon-calon berkualitas yang bisa dipercaya dan membawa harapan bagi para calon pemilih. Itu kalau kita mau mencari siapa yang harus dipersalahkan.
Kembali ke topik di awal tulisan ini, pihak penyelenggara sepertinya memang sudah harus memikirkan cara untuk mendapatkan data jumlah golput berikut pengkategoriannya secara jujur dan transparan.
Menurut saya, data ini penting agar kita bisa menilai kualitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri secara objektif dan konstruktif. Ke depannya, kita tak perlu ribut-ribut lagi dengan fenomena golput menjelang atau selepas pemilu, apalagi bila mereka yang golput bukan karena alasan apatis atau kendala teknis. Â Â Â Â
Jambi, 9 Februari 2019