Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menangkal Gelombang Komersialisasi di Kawasan Konservasi

8 Agustus 2018   16:30 Diperbarui: 9 Agustus 2018   02:40 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: kompas.com)

Sudah menjadi takdirnya, isu-isu terkait konservasi dan lingkungan hampir selalu bersinggungan dengan isu investasi ekonomi dan komersialisasi. Betapa tidak mudah untuk terus mempertahankan potensi keindahan alam dan lingkungan yang diwariskan Sang Pencipta. 

Saya mencermati setidaknya ada dua pemberitaan penting di media yang terkait isu lingkungan namun sepertinya "tenggelam" oleh gonjang ganjing politik dan pencapresan.

Pertama, dilansir kompas.com, telah terjadi penebangan belasan pohon di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang menimbulkan kecaman banyak pihak. Penebangan pohon sebanyak 16 pohon dari jenis Damar (Agathis dammara) itu terkait pembangunan sarana prasarana pendukung wisata alam di Resort Situ Gunung, Bidang Pengelolaan Taman Nasional (PTN) Wilayah Sukabumi di Desa Gedepangrango, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi.

"Kami dari FK3I (Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia) menyesalkan adanya penebangan 16 pohon tersebut. Penebangan pohon ini menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap fungsi kawasan," kata Ketua FK3I Jawa Barat, Dedi Kurniawan kepada kompas.com, Selasa (7/8/2018) malam.

Taman Nasional Komodo 

Kedua, hampir bersamaan dengan peristiwa di TNGGP, di media online tersebar luas petisi 'Stop tipu daya atas nama konservasi' digalang warganet bernama Cilfia Dewi lewat laman Change.org.

Petisi online yang mulai digagas pada Senin (6/8/2018) ini ditujukan kepada para pemangku kepentingan yang terkait dengan Taman Nasional Komodo. Para pemangku kepentingan itu adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Penanaman Modal, dan Balai Taman Nasional Komodo.

Dewi mengajak masyarakat memberikan suara untuk menghentikan proses pengelolaan wilayah Pulau Padar dan Rinca agar komodo dapat hidup di habitat alaminya tanpa sentuhan pembangunan.

"Rencana pengelolaan 300 hektar di Pulau Padar dan 22,1 hektar di Pulau Rinca, bagaimana mungkin Taman Nasional Komodo dari kawasan konservasi kemudian akan berubah menjadi destinasi investasi oleh para pihak investor yang berkepentingan," tulis Dewi dalam petisinya.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata ini terkait dengan rencana pembangunan sejumlah penginapan dan restoran di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Nusa Tenggara Timur.

Seruan penolakan juga disampaikan oleh artis-artis nasional seperti Kaka "Slank", Luna Maya, Jessica Iskandar. Masyarakat setempat pun tak mau ketinggalan. Mereka yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata (Formapp) menggelar aksi unjuk rasa di kantor-kantor pemerintah terkait untuk menyuarakan penolakan.

Foto: floresa.co
Foto: floresa.co
Menurut mereka, penguasaan atau pengelolaan pihak swasta atas titik-titik strategi dalam kawasan TNK tidak membawa manfaat apa-apa terhadap masyarakat, terlebih khusus masyarakat yang berada dalam kawasan TNK.

Pengalaman buruk memang sudah pernah terjadi ketika TNK dikelola swasta. Pada tahun 2003, sebuah perusahaan swasta diberikan izin untuk pengusahaan pariwisata alam (IPPA) selama 30 tahun. Terhitung sejak 2004 sampai dengan 2034. Namun setelah 10 tahun beroperasi, perusahaan ini bubar tanpa ada pertanggungjawaban publik yang jelas.

Menurut warga, kehadiran pihak swasta dalam pengelolaan kawasan strategis TNK akan menambah beban penderitaan bagi masyarakat dalam kawasan dan juga para pelaku usaha wisata lokal.

Sikap pemerintah

Dari dua kasus ini, publik akan bisa menilai sikap pemerintah terkait isu-isu konservasi dan lingkungan. Apakah pemerintah tetap memiliki fokus dan kepedulian terhadap isu-isu tersebut, atau jangan-jangan sudah mengabaikannya demi kepentingan komersialisasi dan investasi ekonomi ?.  

Mungkin ada dalih bahwa sebenarnya konservasi tetap bisa berjalan seiring dengan laju komersialisasi. Namun, sepertinya itu masih dalam kajian teori yang serba ideal dan di angan-angan. 

Sesuai peruntukannya sejak awal, Taman Nasional jelas-jelas memiliki fungsi konservasi. Berbagai jenis makhluk hidup (hewan dan tumbuhan) yang unik ada di sana. Ciri khasnya itu pula yang membuat banyak orang tertarik untuk melihat dan mengunjunginya secara langsung. 

Taman Nasional Komodo misalnya, keberadaannya sudah mendunia. Keunikannya itu sulit ditemui di negara mana pun. Para wisatawan mancanegara banyak yang menjadikan tempat itu sebagai destinasi wisata wajib saat berkunjung ke Indonesia. 

Pemerintah seharusnya memikirkan langkah-langkah strategis guna melestarikan kawasan langka tersebut, bukan malah membuka "jalan" yang berpotensi merusaknya. Ide membangun sarana prasarana parawisata harus difikirkan dengan sangat hati-hati dan tak boleh terburu-buru. 

Penolakan warga di TNGGP dan TNK merupakan reaksi kekuatiran bahwa proses komersialisasi yang terjadi hari ini jika tak segera dihentikan, akan terus berlanjut hingga akhirnya keberadaan dua kawasan konservasi tersebut akan hilang dan tinggal menyisakan monumen sejarah.

***

Jambi, 8 Agustus 2018

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun