Mohon tunggu...
Stevan Manihuruk
Stevan Manihuruk Mohon Tunggu... Penulis - ASN

Buruh negara yang suka ngomongin politik (dan) uang

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Akhirnya "Bumi Manusia" Dijadikan Film

25 Mei 2018   00:06 Diperbarui: 27 Mei 2018   20:31 1733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Foto: goodreads.com)

Novel "Bumi Manusia" ditulis oleh sastrawan kondang, Pramoedya Ananta Toer. Novel ini merupakan salah satu bagian dari tetralogi Pulau Buru yang hingga kini masih banyak diburu oleh pecinta buku. Buku ini ditulis Pram ketika masih diasingkan di Pulau Buru bersama ribuan tahanan politik lainnya karena dicap sebagai Komunis.

Saking terkenalnya, beberapa kalimat dalam buku ini sudah sering dijadikan kutipan dan acapkali kutipan tersebut justru lebih populer ketimbang judul buku itu sendiri.

Sebagian orang mungkin sudah akrab dengan kalimat ini "Kita telah melawan. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Atau kalimat "seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan". 

Mungkin juga dengan kalimat "Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya". Atau kalimat "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri."  

Beberapa kalimat diatas tentu hanya sebagian kecil dari banyak kutipan inspiratif yang lahir dari permenungan mendalam sang penulis dan dituangkan dalam buku tersebut. Jika tak percaya, cobalah langsung mencari buku ini dan membacanya.

Novel "Bumi Manusia" bercerita tentang Minke, salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Namun Minke, selain anak pesohor, juga pribumi yang pandai. Ia sangat piawai menulis. Melihat kondisi di sekitarnya, Minke tergerak untuk memperjuangkan nasib pribumi melalui tulisan, yang menurutnya membuat suaranya tidak akan padam ditelan angin.

Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang 'nyai' bernama Nyai Ontosoroh. Pada saat itu, nyai dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Status seorang nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Nyai Ontosoroh sadar betul akan kondisi itu dan berusaha keras belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia.

Melalui buku itu, secara hidup Pram juga menggambarkan kondisi masa kolonialisme Belanda pada saat itu. Ia memasukkan secuil demi secuil detail ke dalam tulisannya sehingga mirip dengan kondisi aslinya dan bisa dijadikan salah satu referensi sejarah meskipun fiktif.

Pramoedya (Foto:aljazeera.com)
Pramoedya (Foto:aljazeera.com)
Menjadi film 

Sutradara Hanung Bramantyo ternyata punya kisah menarik tentang novel ini. Hanung adalah sutradara tenar yang sudah "membidani" lahirnya karya-karya film bernuansa nasionalis mulai dari Sang Pencerah (2010), Gending Sriwijaya (2013), Soekarno (2013), Rudy Habibie (2016), Kartini (2016) dan banyak lagi.    

Hanung ternyata sudah berhasrat menggarap film dari novel Pramoedya Ananta Toer sejak kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Pram adalah penulis yang dikagumi Hanung mulai SMA. Salah satu buku favoritnya, "Bumi Manusia" yang merupakan seri pertama Tetralogi Pulau Buru. Ia bahkan sudah sempat bertemu Pram saat masih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun