Nuansa diskriminasi kemudian kian meningkat di tanah air. Terjadi konflik etnis Dayak dan keturunan Tionghoa di Kalimantan Barat (1959) dan kerusuhan anti Tionghoa di Bandung (1963).
Bukan suatu kebetulan pula jika salah satu pemain keturunan Tionghoa terbaik kita yaitu Taan Liong Houw harus mengubah nama menjadi L.H, Tanoto setelah tahun 1958.
Periode 1960-1970-an menandai lenyapnya keterlibatan pemain-pemain keturunan Tionghoa dalam sepakbola nasional. Sebagian mantan pemain hebat itu membina klub dan sebagian memilih menyepi ke kota kelahirannya.
Dari fakta sejarah diatas, kita belajar bahwa sepakbola merupakan olahraga yang demokratis dan inklusif. Ia bisa menjadi alat pemersatu seluruh anak bangsa tanpa pernah mempersoalkan garis keturunan "pribumi" atau "non pribumi".
Di berbagai belahan dunia, sepakbola bahkan bisa menjadi alat politik menentang rasisme. Sementara di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, kondisi sosial politik yang carut marut turut berkontribusi membuat persepakbolaan kita belum bisa beranjak ke arah yang lebih baik. Â Â Â Â
Jambi, 13 Maret 2018