Yang berdiri di pintu sunyi, cemas mengetok-ngetok, menggedor-gedor
waktu yang membatu. Para biarawati cekikikan dari sudut bulan sabit.
Pintu sunyi tak teramuk, tak hanya tentang usil nyamuk
atau siksa batuk-rindu yang mulai berdarah
yang hampir bernanah, nunggu kunang-kunang berpecahan entah kapan?
Tiada yang kasihan pada patung yang saban malam diguyur sepi,
walau menggigil pun itu, walau selalu ngigau, atau sampai guling-guling merengeki  bidadari. Sebab rindu telah lama terjual. Cukup mahal, tergadai di seberang samudera, berondok dibalik senja yang selalu jadi pihak ketiga
Biar. Terserahlah pintu-pintu itu terus katub. Sampai berlumut sampai entah maksudnya mau ngalahkan para petapa? Tak apa. Â
Mari kita berperang. Sekenyang mungkin.
Saling mengintip, dan saling mengintai di layar smartphone ini, seabadi luka.
Yang berkecambah di dalam paru.
Aku. Dan engkau!
Dermaga maya.
Samosir. Agustus '20