Mohon tunggu...
Binoto Hutabalian
Binoto Hutabalian Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penulis di www.sastragorga.org

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Metamorfosa Langit

25 Oktober 2019   12:54 Diperbarui: 25 Oktober 2019   12:58 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiada jerit di langit
tiada.
Di rahim begitu hening, tanpa kabut, tanpa badai atau gigil. Tanpa air mata.
Sehanya cinta, damai dan gemericik ketuban sehangat dekap malaikat dan nyanyian bidadari yang menggema di ari-ari.

Tiada sakit di langit.
Tak pun.
Sebelum pintu-pintu rahim terluka. Sebelum para bidadari mengoyak-ngoyak bajunya. Sebelum para lelaki
cuma bisa termangu
menonton para orok menuruni singgasana yang hanya berbungkus darah.
Tiada air mata, dan duka sebelum mata terbuka. Sebelum tangisan pecah.

Tiada terik di langit. Sebelum para bidadari bangkit dari luka-luka rahimnya
Sebelum para bidadari dan para lelaki beranjak menyalakan waktu
Menyalakan terik, menyulut purnama
menggerayangi siang, dan segala malam
Mengajar para bayi mengganti popok sendiri
Melatih para bocah menukangi mainan sendiri,
Menyuruh para anak remaja menyuci baju sendiri
Memberangkatkan para muda-mudi menjelajahi dunia sendiri, mencari langitnya sendiri,

Dan lalu memanggil mereka kembali,
menepi
lewat kokokan senja
dan langit yang terbakar di Baratdaya.

Cahaya jingga berwarna bata, turun menghinggapi uban-uban di kepala renta yang layu tak berdaya.
Dan tak lagi sanggup bicara apa-apa.

Parbaba. '19

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun