Mohon tunggu...
Rosiana Febriyanti
Rosiana Febriyanti Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga dan guru

Senang menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pembelajaran Daring dari Pesantren ke Rumah

2 Mei 2020   21:59 Diperbarui: 2 Mei 2020   22:19 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah beberapa bulan melaksanakan pembelajaran jarak jauh secara daring saya memberanikan diri untuk menulis tema ini sebagai refleksi. Awalnya, saya mendapat perintah dari pihak sekolah untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh secara daring. Satu kata untuk saya, antusias, karena sesuatu yang baru selalu sukses membuat saya bersemangat. Tepatnya dua hari sebelum pelaksanaan, saya dan guru guru lainnya mendapat bimbingan khusus dari rekan kerja yang paham teknologi untuk mengajarkan penggunaan google classroom. Maka semua guru belajar untuk dapat menggunakannya dalam pembelajaran.

Lalu guru menetapkan kesepakatan antara guru dan santri, membuat semacam kontrak belajar agar santri tertib dan disiplin masuk kelas daring. Segala informasi disampaikan pula melalui grup What’s App orang tua agar orang tua turut memantau kegiatan santri. Di Pesantren Al Kahfi, selain ada grup WA orang tua dan wali santri, ada grup orang tua dan wali asrama untuk memantau kegiatan ibadah harian santri, grup orang tua dan pembimbing tahfiz untuk memantau hafalan Alquran dan muraja’ahnya. Setiap grup memiliki aturan dan kesepakatan bersama.

Lantas saya pun berinisiatif membuat grup WA yang isinya santri perwalian saya untuk mengingatkan santri jadwal kegiatan daring harian dan sebagai penyambung pesan dari guru mata pelajaran. Misalnya, saat guru mata pelajaran IPA menyampaikan kelas mulai pukul berapa, token google form, tautan google form, hingga batas pengumpulan tugas. Saya pun memberikan sentuhan berupa kalimat motivasi atau sekadar menyapa mereka. Santri bebas mengeluarkan pendapat dan perasaannya setiap hari mengenai tugas kelas, kendala yang mereka hadapi, hingga berbagi informasi mengenai pendaftaran kuliah, try out UTBK gratis, dan lain sebagainya.

Setiap hari guru tertantang untuk membuat pembelajaran yang menarik. Kecanggihan teknologi jika tidak diimbangi dengan variasi kegiatan akan sangat monoton sehingga membosankan bagi santri. Terlebih lagi, saya yang gaptek (gagap teknologi) ini “dipaksa” untuk berlari mengejar ketrampilan menguasai teknologi. Keterbatasan saya ini seringkali membuat saya mentok di google formulir saja. Terlebih lagi santri juga ternyata memiliki kendala pada saat pembelajaran kuota, satu ponsel ternyata dipakai bergantian dengan orang tua dan adik/kakaknya, susah sinyal, dan faktor lainnya. Syukurlah, sejak awal pembelajaran daring dimulai, kami memiliki kesepakatan dengan orang tua bahwa akan melaksanakan pembelajaran hanya satu mata pelajaran dalam sehari, dengan harapan tidak ada cerita santri yang stres atau kelelahan dengan tugas yang menumpuk. Kesepakatan tersebut bermuara pada kesadaran baik guru maupun santri akan pentingnya menepati waktu pengumpulan tugas agar tidak ada tugas yang terlewat dan akhirnya menumpuk karena tidak dikerjakan santri.

Kesepakatan tersebut melibatkan semua pihak, baik orang tua, guru, maupun santri yang mengalami pembelajaran. Orang tua santri tidak harus keberatan dengan adanya kewajiban santri menyetorkan hafalannya setiap hari agar kebiasaan baik yang sudah ditanamkan di pesantren tidak hilang saat berada di rumah. Santri pun tidak keberatan merekap ibadah harian setiap pekan karena hal itu juga sudah biasa dilakukan ketika di pesantren. Guru mata pelajaran mengatur kelas antara pukul 08.00 hingga pukul 12.00 agar santri bisa membantu orang tua di rumah, seperti mencuci piring, mencuci pakaian, atau pun menjaga adiknya.

Wali kelas hanya mengingatkan di grup WA orang tua, apakah anak mereka sudah beribadah, setor hafalan, mengerjakan tugas, dan memantau kegiatan lainnya. Dengan adanya tugas yang menggunakan sarana internet, terlebih lagi jika ada orang tua yang rela membelikan ponsel baru karena anaknya merengek di rumah, santri mudah terpecah konsentrasi belajarnya. Mereka bisa saja tergoda melihat media sosial, menonton drama Korea, dan bermain games dengan ponselnya. Di sini dibutuhkan peran orang tua untuk membatasi anak dalam penggunaan ponselnya. Perlu komunikasi dua arah antara orang tua dan anak agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dan membuat anak menutup diri. Komunikasi antara guru dan orang tua juga diperlukan saat orang tua yang menjadi pengganti guru, saat anak bertanya mengenai tugas yang kurang dipahami anak. Orang tua dapat menanyakan langsung ke guru mata pelajaran agar tidak salah menerjemahkan maksud tugas tersebut. Bahkan, guru mata pelajaran minta dimasukkan ke dalam grup wali kelas dan santri agar mudah menjelaskan jika ada yang bertanya di grup wali kelas dan santri.

Sinergi yang baik antara guru, orang tua, dan santri juga sangat dibutuhkan agar pemelajaran dari rumah dapat berjalan dengan efektif dan relevan dengan kehidupan. Inilah pemelajaran yang bermakna bagi peserta didik. Anak tidak lagi sebagai objek tetapi bisa bisa menjadi sumber belajar bagi orang tua dan guru. Orang tua dan guru dapat belajar memahami psikologi anak dari sikap dan perilaku yang ditampilkannya, kemudian orang tua dan guru mencari strategi yang tepat untuk mendidik anak.

Alangkah baiknya, jika setiap malam sebelum tidur orang tua menjadikan momen berkumpul dengan seluruh anggota keluarga untuk merefleksi kegiatan yang sudah dilakukan. Ini adalah momen emas untuk saling mendekatkan, menghangatkan, dan menambah pengetahuan seluruh anggota keluarga dengan cara berbincang santai sambil makan bersama. Apa yang harus diperbaiki dibahas bersama sehingga mengurangi kesalahpahaman antaranggota keluarga. Setiap anggota keluarga menggali harapan dan keinginan individu dan menjadikan momen berdoa bersama menjadi sesuatu yang tidak pernah terlewatkan dan terlupakan sepanjang hidup.

Dalam webminar yang membahas topik Menciptakan Pola Belajar yang Efektif , Prof. Rhenald Kasali mengingatkan pentingnya seorang guru memiliki mental pengemudi. Sebagai seorang pengemudi, guru senantiasa sigap, siap, dan peka terhadap situasi. Guru bermental pengemudi akan berani menerobos ke jalur-jalur yang belum pernah dilewati agar peserta didik mengalami dan kelak memiliki ragam kecakapan hidup yang mumpuni. Seorang guru yang bermental pengemudi senantiasa adaptif, inovatif, responsif, berpikir kreatif, berdisplin, bermental pemenang, berpikir kritis, dan eksploratif. Untuk mewujudkan merdeka belajar dibutuhkan adanya sinergi antara anak, orangtua, dan guru yang memiliki kemerdekaan dalam menentukan sikap diri, semoga dapat menciptakan pemelajaran dari rumah yang efektif, kontekstual, dan relevan dengan kehidupan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun