Mohon tunggu...
Muhammad Supriyadi
Muhammad Supriyadi Mohon Tunggu... -

Penulis Lepas, peneliti di Concern Jakarta, dan Staf Analis PTIK

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kabinet Kerja Jokowi-JK

5 November 2014   21:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:32 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kalau tidak beda, tidak Jokowi presidennya. Pemerintahan Jokowi-JK berbeda dengan corak pemerintahan sebelumnya, baik dari formatur kabinetnya maupun protokoler kepresidenannya. Terlihat dari pemilihan steal pakaian pelantikan menteri yang menggunakan baju kemeja putih dan batik yang sebelumnya memakai setelan jas. Gaya pakaian ini benar-benar sesuai dengan apa yang dinamakan “kebinet kerja” dan kekayaan seni nusantara yang sebagian mengartikan “norak”. Apalagi penampilan nyentrik Susi sebagai KKP yang mengundang keramaian dunia netizen.

Tuntunan rakyat yang begitu tinggi, Jokowi pun tidak bisa sembarangan dalam merumuskan dan mengisi job menteri yang akan membantunya dalam menjalankan sistem pemerintahan yang aka datang. Langkah Jokowi melibatkan dua lembaga negara (KPK dan PPATK) untuk menilai kepribadian seseorang.

Atas rekomendasai KPK dan PPATK ada 8 orang yang tidak direkomendasi masuk dalam jajaran kementerian. Jokowi pun seketika menghapus nama-nama tersebut dan digantikan dengan nama cadangan lainnya. Pelibatan dua lembaga ini menunjukan niat baik Jokowi-JK memperbaiki moral menteri dan belajar dari menteri yang terjerat kasus hukum pada pemerintahan sebelumnya. Rotasi tersebut yang membuat pengumuman nama-nama menteri tertunda.

Profesional dan Tantangan Politik

Jokowi-JK telah mengelompokkan dua katagori menteri yang akan membantunya di pemerintahan, yaitu: menteri profesional non partai dan profesional partai. Banyak orang telah menunggu nama menteri untuk memberikan arti profesional dalam perspektif politik Jokowi-JK. Apakah kata profesional yang melekat pada kebinet profesional sama halnya dengan kata profesional pada rangkaian kalimat; petinju profesional, sertifikasi profesional atau profesional komputer dan sebagainnya.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, orang bisa menjabat menteri karena selain profesional, berilmu, juga berpartai politik. Ketika Bung Hatta meninggalkan Bung Karno dalam kancah pemerintahan, yang bisa jadi menteri ada yang dari tentara. Tampaknya Bung Hatta punya pandangan bahwa yang bisa jadi menteri adalah orang berpartai politik tetapi berilmu luas, dan profesional. Jadi, bukan “karbitan” dari kompromi kepentingan cukong yang bisa masuk istana presiden.

Akhirnya teka-teki tersebut terjawab setelah Jokowi mengumunkan deretan nama menteri. Bahwa profesional kebinet Jokowi tidak hanya ditentukan dari karir akademiknya, tapi juga profesional pekerjaan. Terbukti dari beberapa CEO perusahaan swasta; CEO PT.KAI Ignasius Jonan sebagai Kemenhub; CEO PT ASI Pudjiastuti Marine Product, Susi Pudjiastuti sebagai KKP; CEO PT Pindad (Persero), Sudirman Said (Kementerian ESDM); CEO PT National Gobel (sekarang PT Panasonic Manufacturing Indonesia), Rachmat Gobel sebagai Kepmenperindag; CEO PT Tiran Group Andi Amran, Amran Sulaiman sebagai Kementan.

Namu harus disadari, bahwa menteri adalah jabatan politik. Setiap kebijakan dan lembaga yang dinahkodainya, tidak akan lepas dari kepentingan dan kooptasi politik. Belum lagi dihadapkan dengan struktur jabatan di bawahnya. Memegang sistem kendali PNS berbeda jauh dengan karyawan swasta yang dituntut loyalitas kepada atasan. PNS hanya bisa dipecat karena “makar”, bukan karena tidak loyal kepada atasan. Oleh karena itu, para CEO tersebut akan mendapat tantangan baru, dengan sistem kelembangaan pemerintahan yang tidak lepas dari labiri politik.

Kabinet Kerja

Presiden Jokowi menamai susunan kabinetnya dengan sebutan “kabinet kerja” bukan “kabinet trisakti” seperti halnya yang beredar sebelumnya. Kata “kerja” sering muncul pada setiap pidato Jokowi dalam pelantikannya. Komitmen tersebut dibarengi dengan desain kementerian yang didominasi profesional non-parpol dibanding profesional parpol, yaitu: 20 (non-parpol):14 (parpol).

Sesuai dengan komitmen penamaan kabinet kerja, para menteri harus langsung bekerja untuk merealisasikan program Jokowi-JK yang terangkum dalam Nawa Cita. Tidak lagi disibukan dengan pencitraan protokoler, yang dapat menimbulkan distrust kepada rakyat.

Tantangan yang paling mendasaar di antara banyak permasalahan yang belum diselesaikan pemerintahan sebelumnya adalah; ketahanan pangan, ekonomi mandiri dan kreatif, pendidikan yang berkualitas, diskriminasi gender, pengelolaan energi, dll. Di tambah dengan program Jokowi-JK, penguatan dan pembangunan wilayah maritim untuk mempersiapkan grand desain tol laut.

Saatnya Jokowi dan para menterinya membangun negara yang kuat dengan memperbaiki negara yang gagal (state failure) atau hanya jalan di tempat (involusi)? Kuat seperti yang dipopulerkan Bung Karno dalam Pidato Trisakti tahun 1963 menegaskan: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya.

Selamat bekerja kabinet Jokowi, di pundakmu telah dinanti harapan baru untuk Indonesia yang lebih bermartabat dan pembangunan yang benar-benar ada. Bukan ilusi yang hanya ada dalam buku perencanaan.

Moch. Supriyadi

Direktur Riset ConcerN (research and consulting), Jakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun