Mohon tunggu...
Septian Arief Gandaputra
Septian Arief Gandaputra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Dengan Ilmu hidup menjadi mudah, dengan seni hidup menjadi indah dan dengan keyakinan (agama) hidup menjadi terarah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tik Tok Tidak "Salah"! Begini Solusinya

15 Juli 2018   17:52 Diperbarui: 15 Juli 2018   18:20 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Belakangan ini kita disibukkan dengan simpang siur salah satu fenomena terhangat di jagat maya Indonesia, yaitu efek latent dari salah satu media sosial yang digandrungi anak remaja generasi Z (sebagian besar) yang bernama tiktok. Ketenaran aplikasi medsos ini memang tidak diragukan lagi mengingat platform yang disediakan memang awal mulanya ditujukan kepada para anak muda yang memiliki jiwa kreatifitas yang tinggi dengan "music content based". Tapi, kenyataannya, semakin kesini konten yang ada malah mengerucut kepada hal hal yang berkonotasi negatif. Dari awal yang hanya lipsync musik, humour lalu berubah menjadi konten yang jahil dan sexual persuade content.

Efek yang ditimbulkan pun bermacam - macam, mulai  aktifitas jahil kelewat batas seperti mempermainkan gerakan solat untuk sambil menari, wanita yang meliuk liuk memperlihat sisi seksualitasnya, hingga pemanfaatan talent yang memiliki fans base yang besar oleh oknum yang tidak bertanggung jawab  untuk memenuhi hasrat "selfish Economic Interest" -nya . Kita ambil contoh sebuat saja bang Wowo dan Mba Nuraini. Tidak semujur Nuraini, kasus bowo yang di manfaatkan oleh talent management dengan kontrak yang tidak jelas berdalih akan membagi hasil ketika nanti settingan meet and greet berhasil dilaksanakan. Alhasil, euforia yang berlebihan para fans garis keras Bowo pun di manfaatkan demi meraup keuntungan dari uang pendaftaran meet and greet tersebut.

Untungnya, sebagian masyarakat indonesia khususnya remaja masih ada yang "smart" alias pintar dalam menanggapi dan memilah mana hal - hal yang masih sesuai jalur norma budaya kita dan mana yang tidak. Singkat cerita, etenaran seorang "Bowo" berhasil ditangkal dengan tergeraknya komunitas netizan yang kontra terhadap hal ini. Pemerintah , khsusunya Keminfo ikut tergerak dengan menegur keras oknum yang terlibat langsung dengan aplikasi Tiktok seperti talentnya sendiri (Bowo), oknum talent management yang semena mena terhadap daya guna talent yang berebihan, serta provider pembuat aplikasi yang notebenenya bukan dari Indonesia.

Orang bijak bilang kalo nyamuk tidak bisa di bunuh satu persatu maka semprotlah sarangnya. Berpijak pada kalimat bijak itu, tak berapa lama issue ini bergulir, pihak provider diancam ditutup oleh pemerintah Indonesia (melalui Kominfo) apabila tidak memperbaiki sistem yang ada pada produk mereka khususnya pembatasan dan pengawasan terhadap pembiaran konten yang berbau "norm abused". Pemerintah menuntut manajemen  pendiri tiktok untuk membangun kantornya di Indonesia jika ingin keberlangsungan mereka bertahan lama dan dtambah  merubah sedikit feature konten yang ada di aplikasi, salah satunya adalah sistem auto report dan pengawasan terhadap hal hal yang mengandung konten yang telah dijelaskan diatas. Antisipasi pemerintah disni saya kira sudah tepat selaku wasit dalam hal peredaran transaksi informasi digital di Indonesia sebelum efek domino lain muncul akibat kebebasan yang terlalu bebas anak muda zaman sekarang ini.

Apakah berarti Aplikasi tiktok itu tidak bermanfaat ??

Saya pribadi tidak pernah menganggap bahwa sejatinya  aplikasi tiktok itu tidak berfaedah sama sekali, hanya kehadiran aplikasi semacam ini belum dirasa cocok hadir di Indonesia mengingat  " the musers  are still not well educated yet" (masih berjiwa labil terhadap batas batas norma yang baik dan benar). Hal lain menurut saya, lebih dari sisi ketidak-proporsionalan dalam penggunaan (lebih banyak mudharat daripada faedah). Masih banyak pengguna media sosial lain selain tiktok / musically seperti youtuber dan lain lain yang berusaha keras untuk membuat konten yang bermanfaat dan menginspirasi bahkan rela untuk merogoh kocek yang dalam hanya demi suguhan singkat di channel youtube mereka.

Selain alasan ketidak mampuan sistem pada platform untuk menangkal fenomena yang muncul di tengah masyarakat dunia maya. Mekanisme yang ada pada remaja sekarang mengenai pertimbangan sebelum bersikap (baca: berkreasi)  belum proporsional. Untuk mencegah itu, berikut penulis cantumkan kriteria dalam menimbang konten sosmed yang baik dan benar:

- yang kreatif

- inspiratif

- informatif

- sopan dan beretika,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun