Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anaranda, Sebuah Kampung Belum Terurus

23 Maret 2019   09:01 Diperbarui: 23 Maret 2019   09:42 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya dilahirkan di Kampung Anaranda, Mautenda Kec. Wewaria, Kab. Ende, 37 tahun yang silam. Di kampung besar belum terurus tersebut saya bergulat dengan kenyataan akan orang-orangnya yang sangat bersahaja.

Yah, di kampung tersebut masyarakatnya hidup dari hasil pertanian dan peternakan. Setiap musim tanam tiba, kami anak-anak bekerja membantu orang tua untuk berkebun, membajak, dan menanam pagi.

Di dataran Anaranda, sawah membentang luas, dengan pengairan (irigasi) yang belum maksimal. Yah, belum maksimal karena sampai saat ini para petani belum mendapatkan suplai air yang dibutuhkan dari irigasi (bendungan) Mautenda.

Menurut cerita kepala desa Anaranda, pengairan belum berjalan seperti diharapkan karena ada beberapa selokan yang rusak dan tidak terurus. Jalan-jalan di sekitar Bendungan Mautenda juga rusak berantakan. 

Di Anaranda, orang sudah mengenal solidaritas sejak kecil. Kami biasa berbagi dengan orang lain, dan yang lain juga mau berbagi dengan sesama. Walaupun hidup terbatas, kami tidak egois dan menutup diri. Keterbukaan dan saling membantu antartetangga menjadi napas hidup kami.

Jika musim panen tiba, kami pasti akan memanen padi secara bersama-sama. Tidak ada orang yang mau sendiri, kecuali lahannya sangat kecil. Kami pasti bersama-sama untuk menyelesaikan pekerjaan yang berat. Kami sangat menghidupi semangat gotong royong.

Kami, warga Anaranda adalah perantauan (transmigrasi lokal) dari Wolowaru. Menurut cerita Bapak saya, waktu itu kondisi di tanah Lio Lise (Wolowaru) sudah tidak memungkinkan untuk menampung warga yang sudah makin banyak. Orang-orang Wolowaru kemudian berpindah ke dataran Mautenda, yang waktu itu masih sangat polos, penuh dengan binatang-binatang liar seperti kerbau liar, rusa liar, babi hutan. 

Tanah yang subur dengan kondisi hutan yang sangat lebat, membuat penyakit seperti malaria bertumbuh subur. Banyak warga yang mati terserang malaria. Yang bertahan dan hidup, adalah mereka yang lolos seleksi. 

Kesahajaan kami, adalah semangat hidup orang-orang kampung, yang selalu dekat dan bersahabat dengan alam. Nafkah hidup kami adalah pemberian alam. Ikan-ikan di Sungai Loworea, dan danau Ranoleke menjadi sumber protein bagi anak-anak Anaranda. Setiap musim kemarau, danau Ranoleke yang debitnya airnya mulai turun, membuat kami gampang menangkap ikan dan belut. 

Konon, danau tersebut tidak pernah kehabisan stok ikan dan belut karena di sana leluhur kami memberikan "makanan Spiritual" untuk para penghuni danau. Yah, kekuatan spiritual kami tidak tergerus termakan zaman. Kami tetap menghargai alam dan segala kekuatannya agar kami tetap diberi hidup oleh alam.

Anaranda adalah kampung besar belum terurus. Babi berkeliaran di kampung. Orang-orang belum mampu menyiapkan tempat yang layak untuk ternak-ternak peliharaannya karena keterbatasan dana, dan kesadaran kami rendah, soal kesehatan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun