Dalam beberapa tahun terakhir kawasan hutan di Indonesia mengalami nasib tidak beruntung. Ketidak-beruntungan yang sering berpihak pada ratusan hektar hutan di negeri ini, sekurang-kurangnya menjadi indikasi kegagalan kita melindungi hutan dari bahaya kebakaran. Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera dan kepekatan kabut asapnya yang terjadi hampir setiap tahun menjadi bukti paling jelas ketidaksanggupan dan ketidakseriusan pemerintah RI menyikapi masalah ini.Â
Namun apakah masalah kebakaran hutan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah? Pertanyaan ini mestinya menjadi titik balik kesadaran kita untuk melihat lebih jauh masalah kebakaran hutan yang sudah menjadi "menu tahunan"ini.
Lemahnya Kesadaran Masyarakat
Peristiwa tahunan yang sering menimpah wilayah Kalimantan dan sekitarnya, kini gemanya terasa di sejumlah tempat di NTT. Di kabupaten Timor Tengah Selatan, hutan di kawasan gunung Mutis, sejak Kamis (9/11) dilahap si jago merah (PK 15/11). Sementara di Manggarai, kawasan hutan lindung Nte'er juga mengalami "peristiwa naas" yang sama; dibakar oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab. Kedua wilayah ini mewakili tempat-tempat lain yang peristiwa kebakarannya belum menyentuh perhatian media.
Kebakaran hutan yang terjadi di kedua tempat tersebut adalah akibat budaya tebas bakar dalam membuka kebun baru. Demikian pernyataan Paskais Nai, Dewan Pengawas Nusa Tenggara community development (PK 17/11). Pernyataan ini setidaknya mempertegas  pengakuan seorang warga TTS  dalam pemberitaan Metro TV beberapa waktu yang lalu. Dalam wawancara dengan Metro TV di sekitar kawasan hutan yang terbakar, warga TTS itu mengaku dengan polos bahwa membakar hutan sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan turun-temurun.Â
Alasannya sederhana saja, dengan membakar hutan, tanah yang akan dijadikan lahan pertanian itu akan menjadi lebih subur. Kalau tidak dibakar tanah tidak subur. Kita tidaka dapat dengan serta merta menyalahkan pengakuan warga yang luguh ini. Namun Pengakuan ini dapat menjadi gambaran untuk sebuah realitas yang lebih jauh bahwa masyarakat kita memang belum memiliki kesadaran dan tidak tahu bagaimana harus mencintai alam lingkungan (hutan).Â
Mereka(masyarakat sederhana) memiliki pemikiran yang sempit dan hanya memilih jalan menebas dan membakar untuk mempermudah pembukaan lahan baru tanpa memikirkan akibat yang terjadi. Mereka bukannya berpura-pura tidak tahu, tetapi memang benar-benar tidak sadar dan tidak tahu akan perbuatan mereka. Hal nampak jelas dalam "keluguhan" mereka menebas dan membakar hutan setiap kali akan membuka lahan baru.Â
Dan kesadaran serta keterbukaan wawasan mereka untuk mencintai dan melindungi hutan menjadi mungkin ketika mereka diberitahu oleh "mereka-mereka" yang lebih tahu.
Â
Kurangnya Sosialisasi      Â
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Kehutanan dan badan Konservasi Sumber Daya Alam adalah pihak yang paling berperan dalam usaha pelestarian hutan. Mereka mestinya lebih proaktif dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang apa artinya melindungi dan mencintai hutan, dan apa akibatnya kalau hutan ditebas dan dibakar? Melindungi dan mencintai hutan tidak hanya tampak ketika hutan itu sudah terbakar, dan orang berbondong-bondong memadamkan amukkan si jago merah.Â