Mohon tunggu...
Yakobus Sila
Yakobus Sila Mohon Tunggu... Human Resources - Pekerja Mandiri

Penulis Buku "Superioritas Hukum VS Moralitas Aparat Penegak Hukum" dan Buku "Hermeneutika Bahasa Menurut Hans Georg-Gadamar. Buku bisa dipesan lewat WA: 082153844382. Terima kasih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sakitnya Melahirkan Kejujuran

21 Maret 2019   15:09 Diperbarui: 21 Maret 2019   15:19 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam suatu sesi tanya-jawab dengan para siswa-siswi di kelas, saat masih sebagai guru beberapa tahun yang lalu,  penulis pernah melontarkan pertanyaan retoris: "Mengapa para siswa-siswi sulit (sekali) berkata jujur?". Serentak para siswa-siswi merespon dengan beragam jawaban. Ada dua jawaban yang penulis rasa penting untuk disampaikan pada tulisan ini. Pertama,  ada seorang siswi  mengatakan " Pak, susah menjadi orang jujur, karena orang jujur menjadi bahan cemoohan, ejekan, cibiran dan semacamnya dari teman-teman. Dan ada seorang siswa berani menjawab "Pak, kalau semua orang mau jujur pasti penjara sudah penuh sesak".

Jawaban-jawaban polos dan spontan yang disampaikan para siswa-siswi di atas menginspirasi penulis untuk menulis artikel tentang sakitnya melahirkan kejujuran. Iya, orang harus merasa sakit untuk mengandung, melahirkan dan apalagi mengatakan kejujuran, karena kejujuran itu bisa 'menampar' muka sendiri dan 'menempeleng' wajah orang lain. Kejujuran bisa menyeret seseorang dengan para koleganya masuk bui (penjara). Namun sebuah pertanyaan muncul, bukankah lebih baik segelintir orang itu masuk penjara dari pada seluruh rakyat dibiarkan menderita bertahun-tahun bahkan berabad-abad akibat ulah para koruptor?

 Di negeri ini banyak sekali orang melakukan korupsi (baca:perbuatan tidak jujur), namun sangat sulit bagi para pembohong (tersebut) mengatakan secara jujur perbuatan mereka. Kejujuran publik menjadi harga yang teramat mahal bagi para pejabat publik di nusantara ini. Bahkan ketika ketahuan menyeleweng uang rakyat mereka masih berani berkelit dan berbohong.  Bagi mereka (para pembohong/koruptor) kejujuran bisa meruntuhkan bahkan menghilangkan (sama sekali) relasi persekongkolan dengan para kolega, teman-teman seperjuangan yang memperjuangkan penyelewengan uang rakyat.

Persidangan kasus penyelewengan wisma atlet dengan terdakwa Nazaruddin terasa rumit dan kompleks karena kehadiran seorang saksi yang memberikan saksi-saksi palsu. Kesaksian yang disampaikan oleh Angelina Sondakh terdengar menyakitkan, karena Angie menyangkal hampir semua tudingan yang dialamatkan kepadanya. Bantahan yang disampaikan Anggelina di hadapan pengadilan terasa 'palsu' dan hambar karena pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan tanpa alasan. Ada temuan-temuan dan bukti terdahulu yang diyakini KPK sebagai dasar bagi para hakim untuk melontarkan sejumlah pertanyaan mendasar kepada Anggelina Sondakh, terkait kasus suap wisma atlet tersebut.

Di republik ini tidak hanya kasus penyelewengan wisma atlet yang terasa rumit terungkap, tapi ada kasus-kasus korupsi lain. Sebut saja, kasus bank century yang sampai saat ini belum jelas penyelesaiannya. Para pembohong masih berkelit dengan perbuatan mereka, masih enggan dan tidak berani mengatakan secara jujur dan terang-terangan. Itulah potret paling buram usaha pengusutan dan penyelesaian kasus-kasus korupsi  di Indonesia karena para pelaku sangat lihai dan lincah berbohong walaupun bukti-bukti akurat sudah digelontorkan oleh para penegak hukum. Kebohongan para koruptor meninggalkan luka yang amat dalam bagi segenap rakyat Indonesia yang menantikan lahirnya fajar kejujuran.

Ada sebuah keprihatinan paling dalam segenap rakyat Indonesia yang menghendaki terkuaknya kasus korupsi dengan terdakwa Nazaruddin tersebut. Keinginan paling besar segenap masyarakat Indonesia adalah mengetahui oknum-oknum pejabat mana saja yang ikut terlibat dalam kasus korupsi dana wisma atlet tersebut. Kerinduan masyarakat Indonesia untuk  mengetahui sosok-sosok para koruptor (dalam kasus dengan terdakwa Nazarrudin) bagaikan sebuah penantian panjang bangsa tertindas menunggu datangnya sang 'penyelamat'. Sosok para koruptor (bisa) menjadi penyelamat bangsa ini kalau lingkaran perbuatan mereka bisa diketahui publik. Dan kalau boleh para koruptor itu dengan lantang mengaku di hadapan publik, bahwa mereka-merekalah (para koruptor) yang telah melakukan penyelewengan tersebut. Dan dengan pengakuan yang paling ikhlas tersebut, mereka (para koruptor) selanjutnya meminta maaf kepada segenap rakyat Indonesia atas kerugian dan penderitaan yang dialami. Kalau ada sosok koruptor yang berani mengakui perbuatannya, maka rakyat akan memberi gelar 'penyelamat' kepada koruptor (jujur) tersebut. Bahkan rakyat akan mengenang dia (koruptor jujur) sebagai pahlawan pembebasan kasus-kasus korupsi di tanah air. Apakah mungkin idealisme seperti ini bisa terwujud di Indonesia; negara dengan jumlah pejabat 'pembohong' paling banyak?

Pertanyaan di atas hanyalah sebuah optimisme sekaligus keprihatinan. Optimisme, karena selagi masih ada waktu, anak bangsa tetap berharap dan yakin bahwa setiap persoalan (korupsi) pasti bisa diatasi, asalkan ada orang yang berani menjadi 'pahlawan kebenaran'. Sementara itu ada keprihatinan bagaimana nasib generasi berikut kalau kebohongan para pejabat menjadi rahasia umum. Bukankah itu menjadi teladan yang tidak wajar dari generasi tua? Apakah mereka (generasi muda) akan mewarisi kebohongan tersebut atau mereka harus mulai mengikis perlahan kebohongan struktural tersebut sambil menata kembali nilai-nilai kejujuran.  

Rasanya idealisme di atas sulit terealisasi. Para siswa-siswi dalam kutipan di atas mengatakan dengan polos mahalnya kejujuran karena orang jujur bisa jadi 'korban' atau kalau semua orang jujur penjara pasti penuh sesak. Pernyataan spontan dan polos ini meningggalkan PR besar bagi setiap orang yang peduli akan nilai-nilai kejujuran. Bagaimana nilai kejujuran ditanamkan ke dalam hati dan pikiran para generasi mudah kalau mereka sendiri memiliki prasangka buruk tentang kejujuran? Bagaimana kejujuran bisa berakar kalau sejak awal nilai-nilai kejujuran itu sudah ditolak kehadirannya?

Mempertanyakan dan menyerukan kejujuran di tengah awan gelap kebohongan dan korupsi, nilai kejujuran terasa makin sesak dan tersisihkan. Kebanyakan orang akan berujar sinis tentang kejujuran, seolah kejujuran tidak relevan dihadapkan dengan setiap kebohongan dan korupsi. Di hadapan kasus bank Century dan kasus korupsi wisma atllet, kejujuran tidak punya nilai sedikit pun. Tidak ada efek orang berbicara tentang kejujuran. Namun bolehkah secercah harapan dan fajar kejujuran dipancarkan kalau terdakwa seperti Nazaruddin ingin membongkar (habis) keterlibatan para pejabat dalam kasus penyimpangan dana wisma atlet?

Keberanian Nazaruddin untuk mengungkap tuntas semua pejabat yang terlibat dalam kasus korupsi wisma atlet seolah berbenturan dengan tembok kokoh yang dibangun Angelina Sondakh. Kesaksisan yang diberikan Anggelina Sondakh kontradiktif dalam usaha untuk memberangus para pembohong di tanah air. Walaupun bukti-bukti dan fakta telah mendesak Angie harus berkata jujur, tapi anggota DPR dari partai Demokrat tersebut memilih bergeming dan tidak peduli dengan kejujuran.  Cuek, masah bodoh, apatis saja kata orang tentang kesaksiannya (saksi pembohong). Anggelina lupa diri tentang keberadaannya sebagai wakil rakyat di Dewan kehormatan, yang mesti menyampaikan aspirasi masyarakat. Anggelina lupa bahwa sekarang dia sedang mempertaruhkan kehendak rakyat untuk menguak kasus korupsi tersebut. Anggelina lupa diri bahwa rakyat bahkan bisa menggelari dia pahlawan kejujuran, kalau dia berani mengatakan fakta yang sebenar-benarnya dalam kesaksisannya di pengadilan.  Anggelina sekarang ini, kata orang 'Pasang Badan', dan dengan 'badan penipuannya' melindungi kepentingan yang lebih besar, kepentingan dari para pemimpin kebohongan di negeri ini. Apakah usaha 'pasang Badan' Anggelina Sondakh ampuh terhadap bukti-bukti paling valid yang disampaikan KPK?

Sambil menanti proses lanjut kasus penyelewengan wisma atlet, masyarakat Indonesia tetap berharap kepada para pengadil di negeri ini untuk bertindak adil, tegas dan bijaksana. Ketegasan dan kebijaksaan para hakim dan jaksa penuntut sangat dinantikan oleh segenap rakyat Indonesia yang menghendaki keadilan dan kejelasan sejujur-jujurnya. Terungkapnya kasus korupsi wisma atlet menjadi pelajaran (sejarah) paling berharga bagi para pengadil dan juga bagi segenap rakyat Indonesia yang merindukan keadilan dan kejujuran tegak berdiri di tanah air tercinta; pertiwi yang masih menjadi ladang paling subur buat para koruptor kelas kakap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun