Mohon tunggu...
Ajis Rahardian
Ajis Rahardian Mohon Tunggu... -

(bercita-cita sebagai) penulis yang inspiratif

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Komar

12 Agustus 2012   23:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:52 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Angin pagi meluruhkan gelap malam. Cahaya mentari menyapa guratan awan halus, menghias langit yang tak bertepi. Pagi itu Komar (sebut saja begitu) terbangun dari tidurnya lantaran dingin. Bukan hanya hari ini. Hampir tiap hari dia terbangun oleh dingin. Dingin yang tak terelakkan karena memang Komar hanya tidur beralaskan koran dan ditutupi kain lusuh yang tipis. Tolong jangan tanya tempatnya tidur. Karena hanya akan ada dua pilihan: di emperan depan toko atau di gerobaknya sendiri. Bila harus tidur di atas gerobaknya maka dia akan tidur meringkuk sampai cahaya mentari dan suara bising kendaraan bermotor membangunkannya. Setelah terjaga, tanpa harus cuci muka lebih dulu, Komar bisa langsung menyeret gerobaknya menyisiri jalan guna mendapat setumpuk barang rongsokan yang dapat ditukar dengan beberapa Rupiah saja.

Pemandangan tersebut bisa jadi hanyalah cerita fiksi belaka. Namun setidaknya saya telah melihat objek yang serupa ketika pagi-pagi berangkat kerja lewat pasar Ciputat. Matahari masih rendah dan menyilaukan, riuh rendah suara barisan motor dan mobil memenuhi jalan raya pasar Ciputat. Saat  belok di persimpangan, saya melihat seorang anak masih tidur pulas di atas gerobak yang penuh kardus bekas. Beberapa temannya juga pulas di depan sebuah toko sepatu yang belum buka. Miris saya melihatnya. Itulah sisi lain (pinggiran) Ibukota Jakarta.

Dengan sekali lirik kita dapat melihat betapa kurang beruntungnya mereka. Tidak punya tempat tinggal, tidak punya angan tentang menu makan malam, apalagi pekerjaan. Jika bisa memilih, mungkin satu-satunya pekerjaan profesional mereka adalah menariki ongkos penumpang biskota; menjadi kondektur. Boleh saja kita menyalahkan Komar karena dia sendirilah yang datang ke Ibukota tanpa modal apa-apa. Sah saja bila kita melihat kapitalisme yang merajai ekonomi Ibukota sebagai biang keladinya. Namun mari kita lihat dari sisi yang paling dasar: kita lebih beruntung dari Komar.

Dengan begitu, sepertinya kita perlu bersyukur telah mendapat hidup yang layak, bisa duduk tenang di depan layar komputer, dan berangan nanti mau sahur/buka puasa dengan lauk apa. Bulan Ramadan ini sebentar lagi akan lewat meninggalkan kita. Mungkin ada yang bertanya, kenapa tulisan ini berujung dengan bulan Ramadan? Karena satu yang harus kita ketahui tentang makna ekstrinsik ibadah puasa ini. Lapar dan dahaga yang kita rasakan dari pagi hingga menjelang malam merupakan sebentuk simulasi bagaimana para fakir miskin menjalani kehidupan mereka. Hidup yang sarat dengan kesabaran. Tanpa harus menilai taraf hidup siapa-siapa, dengan ibadah puasa ini diharapkan kita mampu turut merasakan kehidupan saudara kita yang kurang mampu. Ramadan bulan yang begitu istimewa dan mulia. Dengan hati yang terang dan pikiran yang positif, tak ada kata telat untuk memulai sesuatu yang baik. Semoga bulan yang penuh berkah ini menjadi momen yang indah bagi kita semua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun