Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Harun Rasyid Djibe Berpulang

11 Juni 2015   17:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:06 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Kamis (11/6/2015) siang ini saya memperoleh layanan pesan pendek duka. M. Anis Kaba mengirim pesan bahwa seorang wartawan senior, Harun Rasyid Djibe, meninggal dunia siang ini sesuai informasi dari anaknya. Belum cukup dua pekan silam, seorang wartawan senior, Ramiz Parenrengi berpulang ke rahmatullah. Satu demi satu para pejuang pena itu gugur, kembali ke Al Khaliknya. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah swt sesuai amal ibadahnya. Amin,

Saya memang sangat beruntung sempat dan mampu menulis sebuah buku tebal 589 halaman berisi kisah 99 wartawan Sulawesi Selatan pada tahun 2010. Ketika senior-senior itu ’pergi’ saya tinggal membuka file yang tersimpan untuk menulis in memoriam mereka. Begitu pun dengan senior wartawan yang satu ini, filenya tersimpan aman dan rapi di laptop saya. Siapa sebenarnya almarhum, kisahnya (dikutip dari buku saya ’’Menerobos Blokade Kelelawar Hitam, Kisah 99 Wartawan Sulawesi Selatan’’).

Ketika kecil, Harun Rasyid Djibe sebenarnya ingin menjadi guru. Ini ditandai ketika dia memasuki dan memperoleh beasiswa atau ikatan dinas sekolah guru pada masa Belanda yang ketika itu bernama Opleiding Vervolg Onderwijzers-OVO, (Sekolah Guru Negeri) sekitar tahun 1949-1950. Selesai mengikuti pendidikan di sekolah warisan Belanda itu, bersamaan pula dengan kondisi tanah air tidak stabil. Indonesia baru saja menerima kedaulatan dari Belanda sebagai realisasi Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Harun pun meninggalkan sekolah guru tanpa persetujuan atasannya sama sekali. Padahal, masa ikatan dinasnya masih tersisa 6 bulan lagi

            Dia merasa, menjadi guru bukan pilihan terakhir. Begitu memutuskan hengkang dari sekolah guru, Harun kemudian menjadi redaktur pelaksana satu suratkabar di Parepare, tahun 1949. Nama media tersebut Harian Bergerak. Media yang dipimpin Bung Amal ini, nyaris tidak tercatat di sejarah pers Indonesia, kecuali terdapat di dalam buku Djawoto yang berjudul Jurnalistik dalam Praktik. Selain Harian Bergerak, di Parepare juga terbit Harian Jelata yang dipimpin Andi Mannaungi (alm). Saat itu, belum satu pun suratkabar di daerah Sulawesi Selatan yang berpihak kepada republik dan dicetak. Harian Pedoman sendiri masih diterbitkan dalam bentuk stensilan. Di Harian Bergerak itulah Harun mengawali karier panjang jurnalistiknya kemudian

            Harun masih ingat, ketika terakhir Polisi Militer Belanda mengobrak-abrik kantornya di Parepare. Giliran berikutnya, Belanda memberangus Harian Bergerak karena dianggap sebagai koran perjuangan. Peralatannya pun disita habis. Hanya sekitar setahun media ini berkiprah sebelum dibreidel mengakhiri operasionalnya.

Setelah harian ini dibreidel, Harun meninggalkan Sulawesi Selatan, hengkang ke Surabaya. Waktu itu masih menggunakan kapal laut. Jarak Makassar-Surabaya harus ditempuh berhari-hari. Di kota Buaya, dia mencoba mencari ilmu di bidang kewartawanan. Dulu di Surabaya ada Sekolah Jurnalistik Menengah Atas. Jika tidak salah, sebut Harun, sekolah tersebut merupakan filial dari Australia yang dipimpin kepala sekolahnya bernama Berti Ramzi. Dia merupakan salah seorang penulis/kolumnus di Majalah Intisari terbitan Gramedia. Selain itu, dia juga ikut sebagai salah seorang redaktur pada salah satu media di Surabaya, Mingguan Cermin, yang dipimpin Pek Pang Heng. Pada sekitar 50-an, dia termasuk salah seorang senior yang cukup disegani. Sama dengan Go Ching Ho pemimpin Harian Perdamaian.

            Kembali dari Surabaya pada tahun 1952, Harun Rasyid Djibe membantu Ali Kamah melaksanakan kegiatan operasional Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara di Makassar. Menurut catatan dari website Antara :www.antara-sulawesiselatan.com (diakses 3 Maret 2009), sejarah berdirinya Antara Sulawesi Selatan berawal dari kedatangan wartawan Antara, Sukrisno bersama rombongan wartawan Republik ke Makassar April 1947. Mereka bermaksud meliput sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) yang merupakan negara bagian bentukan Belanda.

            Sukrisno dalam kesempatan lawatannya itu meminta Henk Rondonuwu dan L.E.Manuhua (Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat) membantu Antara mengirim berita-berita mengenai berbagai kegiatan di Makassar yang menguntungkan perjuangan Republik Indonesia. Berita-berita tersebut dikirim kepada Muchtar Lubis sebagai koordinator Antara untuk daerah-daerah pendudukan. Mereka melaksanakan pekerjaan koresponden bagi Antara bukan atas dasar komersial, melainkan murni atas dasar semangat perjuangan melawan penjajah.

            Pada tahun 1950, dua tahun sebelum Harun Rasyid Djibe bergabung, seluruh kegiatan koresponden Antara dipusatkan di sebuah rumah di Jalan Gowa (sekarang Jl.Ratulangi) Nomor 10 A, lalu pindah lagi ke Jalan Lajangiru No.153 (sekarang Jl.G.Merapi), rumah milik Henk Rondonuwu. Pada saat itu, Ali Kamah sudah ikut bergabung dalam kegiatan koresponden Antara.

            Kantor Antara kemudian pindah lagi ke rumah Ali Kamah di Jl.Sungai Saddang pada tahun 1951. Di rumah ini aktivitas Antara berlangsung pada satu kamar di ruang depan rumah. Nanti pada tahun 1952, Harun Rasyid Djibe resmi bergabung dan membantu Ali Kamah dengan memanfaatkan fasilitas peralatan milik Pedoman Rakyat sebagai pendukung kegiatan koresponden. Sekitar 5-6 tahun Harun Rasyid Djibe berkiprah di Antara.

            Setelah meninggalkan Antara, Agustus 1959, Harun menerbitkan Ekspress Minggu. Media ini terbit tepat sebulan setelah Dektrit Presiden RI yang menyatakan kembali UUD 1945. Harun menerbitkan Ekspress Minggu bersama Andi Baso Amir (alm.), adik dari Jenderal TNI M.Jusuf (alm.). Media ini sempat lama bertahan, karena termasuk koran yang sangat keras melawan PKI, sehingga massa dan pelanggannya banyak. Masa ’subur’ Ekspress Minggu berlangsung hingga tahun 1964.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun