Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ramang Pergi (46)

19 Mei 2021   14:34 Diperbarui: 19 Mei 2021   14:36 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramang setelah kembali ke PSM (Dokpri)

SUDAH lama ia menderita. Suatu sore di bulan Juni 1981, ia pulang larut malam dengan pakaian basah tersiram hujan. Ia baru saja pulang dari Stadion Mattoangin, melatih anak-anak PSM Makassar. Ia jatuh sakit, dan mendekam 55 hari di rumah sakit. Paru-parunya tak lagi normal. Bulan Puasa tahun lalu penyakitnya kambuh. Namun, lantaran tak ada biaya, ia memilih tinggal di rumah. Sabtu pagi pekan lalu, di rumah sederhananya di Ujungpandang, Ramang meninggal dunia.

 Pemain legendaris itu telah pergi. Tapi, sejarah sepak bola Indonesia tak akan pernah lupa mencatat namanya. Di Olimpiade Melbourne 1956 ayah empat anak dan kakek belasan cucu ini ikut mengukir prestasi terbaik sepak bola Indonesia: menahan kesebelasan Uni Soviet yang merebut emas waktu itu dengan 0-0. Walaupun pada babak perpanjangan waktu Indonesia menyerah 4-0, sampai sekarang itulah prestasi terbaik yang pernah dicapai tim nasional Indonesia.

"Sebenarnya ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi, baju kaus saya ditarik dari belakang," tutur Ramang pada TEMPO suatu ketika.

Bermain sebagai penyerang tengah dengan nomor punggung 9, Ramang memang dikenal memiliki naluri mencetak gol yang luar biasa. "Dia bisa menembak ke gawang dengan posisi apa pun," tutur Maulwi Saelan, kiper tim nasional angkatan Olimpiade Melbourne. Pada tahun 50-an itu, hanya Ramang yang bisa menembak salto ke gawang.

Ada lagi yang istimewa dari pemain bola dengan pendidikan hanya SD (dulu SR -- sekolah rakyat) itu. Yakni tendangannya dari pojok kanan lapangan (corner kick) sering langsung menembus gawang. Dari kaki dan kepalanya sudah tercetak ratusan gol. Kebanyakan dengan kejutan yang sukar diduga.

 Pada 1954, ketika PSM Makassar lawan Persija di Stadion Ikada, misalnya. Kiper PSM Saelan menendang bola dari gawangnya, diteruskan dengan sundulan penyerang PSM Suardi Arland ke kotak penalti Persija. Ramang ketika itu dijepit dua lawan dan praktis tak bisa bergerak. Tapi, dengan gerakan kilat ia maju menyongsong bola, memiringkan badannya dan langsung melakukan tendangan half volley kaki kanan sembari menjatuhkan badan. Gol!

Anehnya, sebagai pemain yang selalu dikawal ketat, Ramang tak pernah mengalami cedera.

 "Malah yang cedera karena saya 'makan' tanpa terlihat wasit, sudah banyak," katanya lagi suatu saat.

Soal "makan-memakan" ini Ramang memang dikenal punya teknik tinggi yang halus. Ia memang macan bola yang disegani lawan. Di tahun 50-an itu, trio PSM Makassar yang sangat terkenal, Suwardi Arland-Ramang Noorsalam beberapa kali membawa kesebelasan itu menjuarai kompetisi PSSI.

 Dalam usia 10 tahun, Ramang sudah mulai menendang-nendang bola rotan dalam permainan sepak raga. Ayahnya, ajudan Raja Pangkep ke-18  Jonjong Karenta Lemamparang, sudah lama dikenal jagoan raga di daerah Goa. Jonjong memang keturunan raja Gowa, meski dia memerintah di Barru.

Bakatnya memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat bond Barru, kota kelahirannya. Pada 1945, ia pindah ke Ujungpandang. Pahit getir kehidupan dirasakan Ramang di kota itu. Ia bekerja sebagai penarik becak, sambil tetap main bola. Pada 1947, ia sudah memperkuat bond Makassar (MVB yahg kini berganti PSM).

Di tim nasional, berpasangan dengan Djamiat dan The San Liong, Ramang membawa Indonesia sebagai kesebelasan yang ditakuti di Asia. Tahun 1952-53, dalam tur Asia, PSSI menjungkalkan Hong Kong, yang ketika itu jarang kalah di Asia.

"Kita sampai dua kali memukul Hong Kong," ujar Saelan mengingat zaman keemasan itu.

Roda nasib selalu berputar. Ada juga masa pahit bagi Ramang. Setelah dituduh menerima suap pada 1960 -- suatu hal yang dibantahnya sampai akhir hayatnya -- Ramang tenggelam. Terakhir kali, pada 1968, dalam usia 40 tahun ia masih bermain untuk PSM. Sesudah itu, ia mulai melatih PSM dan, antara lain, melahirkan pemain bintang Ronny Pattinasarany.

Dua orang anaknya juga pemain bola yang cukup dikenal: Anwar dan Rauf Ramang. Bersama dua anaknya itu -- dan beberapa pemain Makassar lain -- Ramang kemudian mengembara. Mulanya ia melatih PSBI Blitar dan mengantarkan kesebelasan kota itu mencapai 8 Besar Kompetisi PSSI. Setelah itu, Ramang boyong ke Persipal Palu, dan PSBI pun ambruk. ( Tempo Interaktif, 03 Oktober 1987) (Bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun