Bakatnya memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat bond Barru, kota kelahirannya. Pada 1945, ia pindah ke Ujungpandang. Pahit getir kehidupan dirasakan Ramang di kota itu. Ia bekerja sebagai penarik becak, sambil tetap main bola. Pada 1947, ia sudah memperkuat bond Makassar (MVB yahg kini berganti PSM).
Di tim nasional, berpasangan dengan Djamiat dan The San Liong, Ramang membawa Indonesia sebagai kesebelasan yang ditakuti di Asia. Tahun 1952-53, dalam tur Asia, PSSI menjungkalkan Hong Kong, yang ketika itu jarang kalah di Asia.
"Kita sampai dua kali memukul Hong Kong," ujar Saelan mengingat zaman keemasan itu.
Roda nasib selalu berputar. Ada juga masa pahit bagi Ramang. Setelah dituduh menerima suap pada 1960 -- suatu hal yang dibantahnya sampai akhir hayatnya -- Ramang tenggelam. Terakhir kali, pada 1968, dalam usia 40 tahun ia masih bermain untuk PSM. Sesudah itu, ia mulai melatih PSM dan, antara lain, melahirkan pemain bintang Ronny Pattinasarany.
Dua orang anaknya juga pemain bola yang cukup dikenal: Anwar dan Rauf Ramang. Bersama dua anaknya itu -- dan beberapa pemain Makassar lain -- Ramang kemudian mengembara. Mulanya ia melatih PSBI Blitar dan mengantarkan kesebelasan kota itu mencapai 8 Besar Kompetisi PSSI. Setelah itu, Ramang boyong ke Persipal Palu, dan PSBI pun ambruk. ( Tempo Interaktif, 03 Oktober 1987) (Bersambung).