Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Diary

Obituari H Abdurrahman Siada: Selamat Jalan Guruku!

19 April 2021   23:03 Diperbarui: 19 April 2021   23:50 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Guru saya memang mempelajari teknik menjadi penjaga gawang dengan segala jurus. Mulai dari bagaimana menjebak dan mengunci kaki pemain lawan yang ber-solo run membawa bola dan mendekati gawangnya. Bagaimana menghalau bola dengan 'menendang' menggunakan  lengan/tangan atau 'memukulnya' dengan kepalan. Yang sangat spektakuler adalah menangkap bola klinker dari kulit dengan satu tangan (kanan). Belum lagi kalau beliau melakukan lompatan harimau menangkap si kulit bundar yang melayang dari samping kiri atau kanan rusuknya. Luar biasa.

Pada tahun 1969, ketika paman saya, Abubakar H.Abidin menikah dengan Siti Kalsom di Desa Ranggo Kabupaten Dompu, yang ketika itu baru duduk di kelas 1 SMA Negeri Bima ikut menghadiri acara resepsi yang meriah pada suatu malam. Ternyata, dari kampung, ada rombongan kesebelasan SMES Kanca yang akan memeriahkan acara pernikahan itu dengan menghelat pertandingan persahabatan dengan kesebelasan tuan rumah, Desa Ranggo.

Pada sore hari, saat pertandingan berlangsung, guru saya tampil di bawah mistar. Para penonton menyesakkan secara tidak seimbang areal di luar garis lapangan. Mereka berjubel di belakang gawang, tempat sang guru saya siap-siap menghalau setiap serangan pemain lawan. Andaikata lapangan yang dijubeli secara tidak seimbang oleh penonton itu bagaikan sebuah perahu, mungkin sudah tidak tertolong lagi, tenggelam karena karena muatannya yang berat sebelah.

Sang guru saya mendemonstrasikan bagaimana menyergap  bola dari kaki pemain lawan yang mencoba mendekati gawangnya. Atraksi ini membuat penonton sore itu berdecak kagum dan bersorak sorai. Betul-betul pertandingan persahabatan itu merupakan tontonan langka yang menarik. Seorang penjaga gawang legendaris kabupaten beraksi mempertontonkan sisa-sisa kepiawaiannya menjinakkan si kulit bundar. 

Pada pertemuan tahun 2011 di Desa Sekuru Kecamatan Monta Kabupaten Bima tersebut, saya menyalaminya selagi di tempat tidur. Dia berusaha bangun untuk menyambut kedatangan muridnya yang pernah memperoleh dua hal sekaligus. Ilmu pengetahuan dan ilmu menjadi penjaga gawang yang baik. Saya dan rekan Ibrahim A.Rahman (pensiunan karyawan Perguruan Al Azhar Jakarta) yang biasa "menyontek" cara beliau menjadi kiper, meskipun menggunakan bola yang terbuat dari dulungan kain atau pelepah batang pisang kering yang dibentuk menjadi bola lalu diikat keliling dengan tali biar tidak berhamburan saat digasak kaki.   Saya dan Ibrahim juga mencoba melompat harimau yang membuat kaki dan tangan kami penuh "mur" karena luka-luka.

''Biarlah di tempat tidur saja,'' kata saya pendek dengan suara yang sangat berat ketika mengunjunginya menjelang saya terbang kembali ke Makassar.

''Tidak apa-apa, Pak Lan,'' sahutnya pelan dan mulai berusaha menggerakkan tubuhnya. Dia seolah tidak membiarkan saya duduk di kursi sementara dia terbaring di tempat tidur.

Saya langsung mencoba 'menangkap' lengannya, bersamaan dengan istrinya ketika melihat dia hendak bangun duduk. Lengan yang pernah sangat kekar dan digunakan untuk menghalau setiap bola yang datang ke arah gawang yang dikawalnya puluhan tahun silam itu, kini tidak lagi mampu membantu menopang tubuhnya untuk sekadar bangun dari tempat tidur. Saya bergumam, 'guruku yang pernah perkasa, kini tidak berdaya''.

''Yah, beginilah Bapak. Tidak dapat lagi ke mana-mana. Terbaring di tempat tidur saja,'' Aisyah, istrinya, menjelaskan.

Saya hanya memandang sayu pada sosok yang dulu berbadan kekar dan jangkung itu. Tingginya mungkin berkisar 187 cm. Saya memutar ulang memori hampir setengah abad silam, ketika pertama muncul di desa menjadi kepala sekolah. Kini, dia berupaya melawan  stroke yang dialaminya.  

Beliau mengajarkan kami kesantunan, Hormat pada guru. Setiap guru dan tamu yang masuk ke sekolah kami, seluruh murid yang bermain di halaman depan sekolah akan langsung berdiri tegap begitu ada seorang yang berteriak ''hormat!!!!'. Kami akan serempak mengucapkan ''selamat pagi!!!!''. Ini tidak hanya berlaku pada para guru kami saja, tetapi juga terhadap seluruh tamu sekolah. Tentu tingkah seperti ini tidak pernah lagi kita lihat di sekolah-sekolah dasar kita sekarang ini. Mungkin juga di sekolah dasar saya dulu. Itu hilang berbarengan dengan lenyapnya Budi pekerti, pelajaran yang mengajarkan disiplin dan kesantunan yang jarang ditemukan di rumah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun