Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sulitnya Minta Maaf

26 Juni 2017   16:04 Diperbarui: 26 Juni 2017   16:16 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam beberapa hari ini , ada banyak ucapan  kemenangan , ucapan selamat lebaran disertai dengan permintaan maaf di media sosial.  Seolah permintaan maaf itu sudah suatu template yang mudah ditebak apa isinya.

Kata "maaf" di budaya timur terutama Indonesia, itu sudah mendarah daging.   Jika kita merasa bersalah , selalu secara langsung mengatakan "maaf"  jika kita melakukan kesalahan baik itu secara sengaja atau tidak sengaja.    Sengaja misalnya  kita mengatakan hal-hal yang menyakiti hatinya, "Kamu itu gendut",  "Kamu itu tidak cantik".    Sedangkan  perbuatan yang tidak sengaja apabila kita tiba-tiba datang ke kamar anak tanpa mengetok pintunya, padahal dia sedang tidur.   Contoh yang lain, saat berwisata, kita lupa membawa mainan favorit anak sehingga anak bosan dan selalu menanyakan kenapa mainannya tidak dibawa.

Memaafkan menjadi suatu tradisi budaya timur karena tradisi itu diterapkan dalam agama atau parenting yang mengajarkan untuk  memaafkan orang lain saat kita berbuat salah kepadanya.  Sejak kecil anak sudah diajarkan oleh orangtuanya tanpa pemberian pemahaman tentang maaf.

Sayangnya, sebuah pengajaran tentang apa arti maaf itu kadang-kadang menjadi kabur artinya.   Anak saya pernah bertanya kepada saya, kenapa mamah tidak berbuat kesalahan, selalu bilang "maaf".  Seolah-olah kata "maaf" itu mudah terlontar bagaikan sebuah kamus berjalan yang otomatis ke luar.  Bahkan tanpa makna yang berarti.   Saya bahkan ditegur oleh  kakak saya yang sudah lama tinggal di Belanda.   Apakah saya mengerti dan memahami kata "maaf" setiap kali saya berkata "maaf"?

Terus terang, saya sulit  menjawabnya , seringkali rancu, antara perlu tidaknya  untuk mengatakan maaf.    Sesungguhnya,  saya perlu instropeksi apakah kata "maaf" itu benar-benar tulus keluar dari hati terdalam atau sekedar "lip service" saja.    Saking seringnya jadi tidak bermakna lagi.   Malahan seolah jadi kebiasaan yang gampang sekali digunakan.    

Budaya di negara barat justru sebaliknya. Mereka akan menyatakan "maaf" jika mereka merasa benar-benar bersalah terhadap orang lain.  Contohnya  jalan terlalu cepat sehingga menabrak atau menyenggol kita. Ketika kita sedang minum di caf, orang itu menabrak atau menyenggol meja kita sehingga minuman kita jatuh berantakan.

Namun, budaya "maaf "  itu ternyata tidak mudah  dibangun  oleh mereka yang belum memahami apa makna maaf.  Keegoan manusia itu sangat besar.  Untuk minta maaf itu  dianggapnya sebagai kehilangan diri sendiri.

Di suatu video, seorang ayah berbelanja dengan dua putrinya.   Sang adik itu dengan sengaja mengambil barang belanjaan milik kakaknya dan dijatuhkannya.   Ayah yang melihat peristiwa itu, segera minta kepada adik untuk minta maaf kepada kakak.

Adik:  "Saya tidak perlu minta maaf kepadanya!"

Ayah:  "Kamu sudah berbuat salah kepada kakakmu, katakan  maaf kepadanya!"

Adik:  "Tidak!  Saya tidak sengaja melakukannya!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun