Kami keluarga kecil, saya bersaudara dengan kakak saya perempuan. Â Ketika kakak perempuan studi di Belanda, saya serasa menjadi anak tunggal . Sepi dan tidak ada teman main. Jadi saya lebih banyak teman dari tetangga. Apalagi kakak saya tidak sering pulang.
Setelah studi, dan mendapatkan kewarganegaraan Belanda dan kebetulan mendapatkan jodoh di Belanda, saya berharap kakak akan bawa anak-anaknya ke Indonesia.
Waktu itu saya masih kerja, menjemput kakak, suaminya yang notabene orang Belanda totok, dan dua keponakan perempuan, satu berusia 5 tahun dan yang kecil berusia 2 tahun. Â Senangnya bukan main, saya bertemu dengan kakak, keponakan.
Sayangnya, saya tidak bisa berbahasa Belanda sama sekali. Jadi saya tak mampu berinteraksi dengan mereka. Â Sulit banget yach tanpa komunikasi, saya hanya bisa bicara lewat kakak saya dan dia yang menerjemahkannya. Â Untungnya dua keponakan ini tak rewel di Indonesia, saat itu kamar belum ada AC, sedangkan udara panasnya luar biasa.
Ketika saya bawa mereka ke kolam renang yang besar dan bersih. Â Di sana mereka bermain sangat senang sekali bahkan mereka anggap kolam renang itu sebagai pengganti panasnya udara. Â Â
Sayangnya, soal makanan  tak cocok dengan selera Indonesia. Wah saya pusing sekali, saya tak diperbolehkan memberikan "junk food" buat keponakan bule ini.   Dalam keadaan bingung, saya hanya buatkan makanan mirip Belanda seperti perkedel, olliebollen, kroket, pancake, pastel tutup, macaroni schotel.
Setiap kali mereka datang, pasti keponakanku ini pulang kampung ke rumah nenek atau omanya di Semarang. Â Di sana, oma senang sekali ketemu. Â Untung oma bisa bicara bahasa Belanda. Â Oma tak bisa menemani mereka kemana-mana karena kakinya sudah lemah. Â Yang paling lucu dan menyenangkan oma, Â keponakanku ini bisa cerita kembali ketika oma berada di Belanda. Nostalgia ini membuat sang oma bahagia sekali. Â Â
Keponakan yang masih kecil bingung melihat pembantu yang masak dengan "dingklik", Â memperhatikan pembantu "ngulek " sambal. Â Lalu jika pembantu mau gendong dengan selendang, mereka tak mau. Â Maklum anak bule tidak terbiasa digendong. Sejak kecil mereka sudah mandiri, tidur sendiri, makan sendiri, tidak boleh menyuruh pembantu.
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu,  keponakan kecil itu menginjak dewasa dan selesai dari perguruan tingginya.  Ternyata keponakanku yang setengah bule ini  merasa ada ikatan "Indonesia" meskipun kakak saya tak mengajarkan bahasa Indonesia di rumah.
Awalnya, keponakan yang besar sengaja datang ke Indonesia tiga bulan, belajar bahasa Indonesia di Institute Imlac di Bandung khusus untuk orang asing.