Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tidak Ada Korupsi Kecil, Sekecil Apa pun Perlu Dihukum, Bangun Budaya Antikorupsi

9 Desember 2021   18:11 Diperbarui: 18 Januari 2022   06:33 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sinarjateng.pikiran-rakyat.com

Hari ini merupakan Hari Antikorupsi Sedunia atau Hari Antikorupsi Internasional. Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia ini dinisiasi oleh Majelis Umum PBB yang mengadopsi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Melawan Korupsi  pada tanggal 31 Oktober 2003.

Tema Hari Antikorupsii Sedunia ini bertema "Your Right, Your Role: Say No to Corruption",  artinya  "Hak Anda, Peran Anda:  Katakan Tidak untuk Korupsi".

Tapi  Indonesia  mengusung tema Antikorupsi yang berbeda ,yaitu "Satu Padu Bangun Budaya Antikorupsi".

Korupsi itu suatu penyakit  masyarakat yang menjangkiti setiap orang baik itu anak muda, pekerja, ayah-ibu dan anak-anak sampai kepada pegawai pemerintah, swasta, kepala daerah.

Korupsi dalam konteks keluarga (anak, ayah-ibu) adalah membuang waktu dan mengambil hak  individu yang jadi tanggung jawab kita. Contohnya  saya sebagai ibu dari seorang anak. Waktu berbagi bagi saya sebagai ibu ,pekerjaseharusnya cukup untuk anak, untuk bekerja dan keluarga. Saya tidak boleh korupsi waktu untuk anak, saya ambil untuk diri saya sendiri.

Korupsi dalam konteks pekerja, contohnya saya harusnya bekerja mulai jam 8 , istirahat jam 13.00 dan pulang jam 17.00. Tetapi saya korupsi waktu dengan datang ke kantor pukul 9.30, istirahat dari 13.00 hingga 14.30 (seharusnya pukul 14.00 harus kembal).  

Juga hal tentang reimbursement untuk obat bagi yang sakit, seringkali  terjadi kecurangan dari pegawai memasukkan pembelian susu anaknya  dengan menuliskan sebagai obat. Ketika dicek di apoteknya, ternyata tidak ada pembelian obat, hanya pembelian susu.  Pembelian susu yang seharusnya dilarang untuk minta reimbursement.  Akhirnya, dia dipecat karena soal korupsi senilai Rp75.000

Pimpinan KPK telah mencatat 429 Kepala Daerah Hasil Pilkada Terjerat Korupsi.  Bahkan yang terakhir ditangkap OTT oleh KPK ada 7 Kepala Daerah yang bermain dengan pihak swasta.

Ketika KPK memberikan wejangan kepada Kepala Daerah untuk berhati-hati untuk tidak bermain korupsi karena mereka yang bermain korupsi itu biasaya terjerat oleh dirinya sendiri dan penyalahgunaan wewenangnya sehingga mereka lupa diri , akhirnya korupsi dan merugikan negara.

Sayangnya, ada satu polemik ucapan Pimpinan KPK soal Kepala Desa yang Korupsi tidak perlu ditahan.

Dalam suatu acara , Wakli Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyatakan bahwa kepala desa yang korupsi tidak perlu dipidana, jika duit yang diambil kecil.  Pelaku cukup mengembalikan uang hasil korupsi , lalu diberhentikan, sehingga tidak perlu ada proses pemidanaan yang membutuhkan biaya besar.  Alasan ini dikemukakan karena kepala desa yang terjerat korupsi tidak memahami aturan hukum dan pengelolaan anggaran.

Opini saya, yang tidak paham hukum ,  pemecatan seorang kepala des aitu pasti ada dasar hukumnya.  Dasar hukumnya tentu diputuskan oleh peraturan atau Undang Undang. 

Seorang  anggota DPR  yang juga tidak setuju dengan pernyataan Alexander Marwata bahwa korupsi tidak bisa dilihat dari besar kecil uang yang diambil,  semua kejahatan korupsi apa pun dianggap Tindakan luar biasa.

Jika anggota DPR itu tidak setuju, seharusnya sebagai anggota DPR harus  melihat lagi UU Korupsi pasal 4  itu apakah sudah mencantumkan berapa besarnya korupsi kecil  yang dianggap tidak merugikan negara.  Jika  belum tercantum, revisi UU 4 itu berapa besarnya korupsi kecil itu dan sanksinya apa (misalnya pemecatan tanpa harus ada sidang pengadilan).

Setelah UU pasal 4 itu direvisi,  penegak hukum pasti dapat dengan tegas memutuskan berapa kecil korupsi yang dianggap merugikan negara , dan langsung KPK bisa membantu untuk mengusulkan kepada Mendagri untuk pemecatan kepala desa yang korupsi  (dalam jumlah sekecil apa pun).

KPK sebagai Lembaga antirasuah hanya menangani kasus korupsi penegak hukum penyelenggara negara dan pihak swasta.   Jika ada praktik korupsi di desa yang ditangani oleh kPK,  maka KPK harus bekerja sama dengan  dua pihak yaitu  DPR untuk merevisi UU Pasal 4 dan  Mendagri untuk memecat kepala daerah  yang terkena korupsi jumlah kecil  setelah mendapat surat keputusan dari KPK. 

Dengan demikian pernyataan  pimpinan KPK Alexander Marwata itu tak mengundang polemik panjang lebar . Ada kepastian hukum bahwa setiap Kepala Desa yang bermain korupsi sekecil apa pun dan merugikan negara akan mendapatkan hukuman dengan pemecatan dan permintaan uang kembali.

Implikasinya  (menurut saya), orang yang tidak jera karena hanya dipecat dan diminta uang korupsi,  akan melakukan korupsi  lebih besar  karena tidak ada penahanan di penjara.

Bangun Budaya Korupsi itu ternyata tidak semudah membalikkan tangan karena mental dan sikap korupsi telah menjadi akar yang membudaya .  Tanpa kesadaran penuh pentingnya bahwa korupsi itu adalah penyakit yang merusak tata social, tata ekonomi dan tata budaya bangsa Indonesia maka tema hari AntiKorupsi hanya sebatas angan-angan saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun