Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Revolusi Industri 4.0, Ancaman atau Berkah?

18 April 2018   14:39 Diperbarui: 18 April 2018   20:24 11653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.aberdeenessentials.com

Sekarang ini,  di semua tempat, baik di Indonesia maupun di mana pun, secara global telah memasuki revolusi industri keempat.  Namun,  mungkin di antara kita belum menyadari apa revolusi industri keempat itu.  Mari kita kilas balik dari perjalanan revolusi industri pertama sampai keempat:

Industri 1. (1784)  : Penggunaan mesin Uap

Industri 2. (1870)  :  Mesin Produksi Massal Tenaga Listrik/BBM

Industri 3 (1969)   :  Teknologi Informasi & Mesin Otomasi

Industri 4 (2011)   :  Mesin terintegrasi internet

Apa penyebabnya terjadi begitu banyak revolusi industri, jawaban secara singkat adalah untuk makin meningkatkan produktivitas dan daya saing. 

Revolusi industri generasi keempat ini ditandai dengan kemunculan superkomputer robot pintar, kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik hingga perkembangan neuroteknologi yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak (Klaus Schwab, Founder dan Executive  Chairman of the World economic Forum).

Gelombang dari revolusi industri 4.0 sudah muncul dalam bentuk teknologi . Tren terbaru adalah munculnya teknologi canggih dan berpengaruh besar terhadap proses produksi pada sektor manufaktur.

Teknologi canggih tersebut termasuk kecerdasan buatan, perdagangan elektronik, data raksasa, teknologi finansial, ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot. Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada Hannover Fair 2011 yang ditandai dengan revolusi digital.

Kehadiran industri 4.0 dilakukan dan digerakkan terutama oleh para pimpinan perusahaan di Asia Tenggara.   Mereka menginginkan perubahan agar efektivitas industri semakin maju dengan adanya teknologi yang dapat menunjang perubahan peningkatan efektivitas kerja.

Ternyata apa yang mereka inginkan itu juga didukung oleh surve terkemuka.  Para responden mempercayai apa yang diinginkan oleh para pimpinan perusahaan itu.

Tapi bagaimana dengan kesiapan mental mereka?

Sebenarnya setiap perubahan tentu membawa keraguan apakah setiap pekerja masih dapat dipakai lagi jika harus digantikan dengan tenaga robot. Walaupun di satu sisi, perusahaan makin mendapatkan produktivitas tinggi dengan menggunakan robot, tapi sisi lainnya ada keraguan bagaimana dengan tenaga manusia yang tak punya skill untuk bisa menunjang dalam mengoperasikan robot. Inilah yang jadi perdebatan dalam menyambut revolusi 4.0.

Keraguan itu bukan hanya datang dari para pekerja, tapi para ilmmuwan pun mereka ingin memberikan pandangan apakah dampak dari  kedatangan teknologi digital pada pabrik-pabrik memang memberi janji peningkatan produktivitas.

Dari hasil Studi Boston Consulting Group (September 2015) tentang dampak industri 4.0 terhadap perekonomian Jerman pada 2025, ternyata "hanya" akan terjadi penambahan pertumbuhan ekonomi 1 persen selama lebih dari satu dasawarsa.

Suatu  proyeksi pertumbuhan ekonomi yang ternyata tidak bertumbuh cepat, ditambah dengan penurunan peran manufaktur, masih menyisakan pertanyaan yang banyak, apakah benar nyata dari kehebatan industri 4.0?

Belum lagi, industri 4.0 masih menyisakan sisi gelapnya, yakni dampak negatif terhadap penciptaan lapangan pekerjaan. Itu juga yang dimunculkan majalah ekonomi ternama, The Economist (6/4/2018), yang prihatin bahwa era kecerdasan buatan menyebabkan hilangnya privasi seseorang lantaran persebaran data digital secara mudah. Tiada tempat lagi bagi data untuk disembunyikan.

Satu hal sudah pasti bahwa industri 4.0 sudah datang dan kita tidak mungkin ditolak ataupun dihindarinya. Proses ini akan terus berjalan dan kita harus mati-matian menepis dampak negatifnya. Tak ada lagi yang bisa menghentikannya. Lalu, bagaimana nasib Indonesia dan para tetangga kawasan?

Bagaimana di Indonesia?

Modal Indonesia  yang dapat diandalkan adalah jumlah penduduknya yang mencapai 260 juta . Dari sekian banyak penduduk itu ada sekitar 160 juta jumlah penduduk yang berusia produktif yaitu 14-64 tahun. Diharapkan bonus demografi ini jadi berkah tersendiri bagi Indoensia menghadapi revolusi industri.

Namun, bonus demografi yang menguntungkan itu hanya dapat berhasil menghadapi revolusi industri jika penduduknya punya kemampuan pendidikan yang mumpuni dalam dunia digital, satu-satunya syarat agar bonus demografi menjadi nilai positif bagi Indonesia.

Sebaliknya jika penduduk Indonesia tidak punya kemampuan pendidikan mumpuni, maka yang akan terjadi adalah justru kebalikannya, bonus itu jadi ancaman yang menyedihkan: banyak warga yang tak punya pekerjaan karena semua pekerjaan sudah dikerjakan oleh para robot; sementara produktivitas dari buruh itu tak mampu melawan produktivitas robot yang bekerja jauh lebih efektif.  Akhirnya,  banyak orang yang terancam kehilangan pekerjaan.

Bahkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) memproyeksikan Indonesia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Kamboja akan memindahkan 56 persen pekerjaan ke otomatisasi pada beberapa dasawarsa mendatang.

Oleh karena itu, mau tidak mau, antisipasi dini harus dilakukan. Pemerintah Indonesia pun menyusun peta jalan dan strategi dalam memasuki era digital: Making Indonesia 4.0, yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 4 April 2018.

Dari situ, Indonesia fokus pada lima sektor manufaktur unggulan: (1) industri makanan dan minuman, (2) tekstil dan pakaian, (3) otomotif, (4) kimia, dan (5) elektronik. Kelima area manufaktur tersebut berkontribusi besar terhadap PDB dan memiliki daya saing internasional.

Jadi, apakah industri 4.0 merupakan peluang atau ancaman?

Tidak ada yang bisa memastikannya. Kedua karakter tersebut bisa hadir bersamaan. Semua negara, baik maju maupun berkembang, kini berada pada kegalauan yang sama. Sejauh ini mungkin hanya Singapura saja yang berani mengklaim dampak positifnya lebih besar.

Terlepas dari bagaimana proses ini kelak akan berujung, antisipasi untuk semakin membangun modal manusia (human capital) untuk mengiringi laju pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi kian menemukan konteks dan prioritasnya.

Industri 4.0 memang tidak sampai mengenyahkan seluruh penggunaan tenaga kerja. Namun, hanya mereka yang berkualifikasi tertentu yang bisa bertahan di sektor manufaktur. Lainnya akan diserap sektor nonmanufaktur dan sektor informal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun