Mohon tunggu...
Idris Egi
Idris Egi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Fishum I.kom 11730073

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jejak Rekam Kolonialisme di Masyarakat Jawa

13 Januari 2015   04:20 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku karangan John Ingleson; Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kalonial adalah kajian historis kehidupan sosial perkotaan Jawa di bawah kuasa kolonialisme. Lebih spesifiknya, Ingleson menjelaskan relasi antara kolonialisme dengan perburuhan, kecemasan sosial akibat Depresi Ekonomi 1930 dan warisan gerakan sarekat buruh masa kolonial.

Di bagian awal, buku ini menjelaskan tekanan kolonialisme terhadap kehidupan buruh di Pabrik Kereta Api dan Pelabuhan-pelabuhan di masyarakat Jawa. Ingleson mengklarifikasi kehidupan buruh dari tahun 1910-1920 yang ditekan untuk bekerja demi membantu perekonomian kaum penjajah. Titik permasalahannya adalah kehidupan buruh yang jauh dari standar kehidupan. Kehidupan buruh di tahun 1910-1920, merupakan kehidupan pahit yang (mau tidak mau) harus diterima. Hal ini dikarenakan tingkat upah dan biaya hidup tinggi yang tidak sebanding.

Kehidupan pahit kaum buruh selain dikarenakan upah minimal juga disebabkan perlakuan para majikan yang rasial. Ada dua kategori buruh di masa kolonial, pertama adalah buruh Pribumi dan buruh masyarakat Eropa. Buruh Eropa oleh para majikan pabrik dipekerjakan di tempat strategis yang bergaji tinggi, sedangkan buruh Pribumi dipekerjakan ditempat kasar yang berpenghasilan rendah.

Tekanan para majikan terhadap buruh Pribumi mengakibatkan adanya kesadaran kolektif kaum buruh Pribumi untuk berkumpul dan melakukan perlawanan. Perlawanan yang dilakukan kaum buruh menuntut adanya perbaikan sistem kerja dan perbaikan upah. Namun respon kolonialisme tidak berpihak terhadap kaum buruh. Justru para majikan melakukan pembiaran-pembiaran terkait tuntutan-tuntutan kaum buruh. Kerana kaum buruh yang bekerja di pabrik tidak memiliki keterampilan seperti yang dimiliki oleh buruh Eropa.

Pembiaran-pembiaran oleh majikan pabrik “memaksa” kaum buruh Pribumi untuk melakukan aksi pemogokan besar-besaran. Salah satu aksi pemogokan yang paling awal di pelabuhan Jawa terjadi pada Juli 1913 ketika para awak kapal yang bekerja untuk Perusahaan Perahu Layar dan Kapal Laut di Semarang menuntut kenaikan upah sebesar 30%, jatah beras sebagai tambahan, pemberian ikan-ikan segar dan peningkatan jumlah para pekerja tetap di tiap kapal (hal, 10). Dan aksi pemogokan terjadi pada tanggal 9 Mei dan pada tanggal 10 Mei di Pabrik Kereta Api, sekitar 90% buruh Indonesia gagal muncul untuk bekerja di stasiun-stasiun Kereta Api Negara Surabaya. Pemogokan ini menyebar dari Semarang sampai Pekalongan, dimana hanya lima orang muncul bekerja di stasiun SCS. Sampai 10 Mei, pemogokan telah meluas sampai Tegal dan Cirebon karena para pemimpin pemogokan mendatangi  mereka di sepanjang jalur-jalur untuk membujuk para buruh berhenti bekerja, dan pada tanggal 12 Mei para buruh di bengkel SCS Semarang juga menggabungkan diri dalam pemogokan (hal, 67). Namun sekali lagi, aksi pemogokan buruh tidak direspon baik oleh majikan dan pemerintah Belanda. Pada akhirnya kaum buruh bekerja kembali karena tidak ada pilihan lain untuk memperoleh pendapatan selain bekerja sebagai buruh di pabrik-pabrik.

Di bagian kedua, buku ini menjabarkan Depresi Ekonomi tahun 1930 yang mengakibatkan permasalahan sosial baru di masa kolonialisme, yakni pengangguran dan kemiskinan. Masa Depresi telah mengacaukan penghasilan ekspor hasil panen dari Hindia Belanda dan mengakibatkan efek mendalam terhadap ekonomi kolonial yang selama ini bergantung padanya (hal, 137).

Pengangguran yang diakibatkan Depresi Ekonomi dirasakan seluruh masyarakat Hindia Belanda. Pengangguran tidak hanya dirasakan oleh kaum buruh Pribumi yang tidak mempunyai keterampilan, tetapi buruh Eropa dan kaum berpendidikan Barat juga merasakannya. Pengangguran di kalangan Bangsa Eropa diperkirakan berjumlah 1.0000. Banyak kalangan Eropa yang kehilangan pekerjaannya, bahkan kehilangan tempat tinggalnya. Realitas ini dilaporkan oleh jurnalis Eropa yang secara tidak sengaja menemukan kaum Eropa tidur karena kehilangan pekerjaann dan tempat tinggalnya. Orang Eropa tersebut diberhentikan karena faktor usianya yang tua dan untuk mendapatkan pekerjaan kembali ia merasakan kesulitan sehingga untuk membiayai kehidupan sehari-harinya ia menjual barang furniturnya (hal, 168).

Angka pengangguran dan kemiskinan akibat Depresi Ekonomi ini adalah angka dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keadaan ini memeperjelas kurangnya penyediaan jaminan sosial  oleh Pemerintah. Pemerintah justru melemparkan kasus ini ke gereja-gereja dan lembaga amal yang bertanggung jawab akan semuanya. Sikap Pemerintah Kolonial terhadap pengangguran dan kemiskinan  di perkotaan merefleksikan ideologi Belanda yang berlaku saat itu, di mana sebagian besar jaminan sosial adalah urusan gereja-gereja dan lembaga amal.

Bagian akhir dalam buku ini adalah warisan gerakan sarekat buruh di masa kolonial. Munculnya sarekat buruh menurut analisis Ingleson mencakup lima topik besar. Pertama, sarekat buruh dan perkembangan kesadaran politik. Sarekat buruh sejak 1908 sampai paska kemerdekaan adalah konsekuensi logis akibat ketidakpuasan kaum buruh terhadap sistem kerja masa kolonial. Kesadaran politik kaum buruh muncul seiring berdirinya partai nasionalis untuk merebut kemerdekaan. Karena latar belakang inilah kemudian banyak buruh mendaftar menjadi anggota partai politik yang pada tahun 1931, anggota yang terdaftar berjumlah 100.000.

Kedua, sarekat buruh sebagai institusi-institusi sosial ekonomi. Sarekat buruh mempunyai peran diantaranya, peran industri, peran sosial serta peran dalam menciptakan rasa solidaritas dan kebersamaan. Peran industri mencakup pemerikasaan undang-undang industri dalam mengeluarkan jam kerja maksimum, gaji minimal, hari istrihat dan jam lembur. Peran sosial mencakup pendirian perputakaan dan mengoperasikan bank pinjaman dan dana pengangguran.

Ketiga adalah kepemimpinan. Kepemimpinan dalam sarekat buruh berasal dari masyarakat jawa yang berpendidikan Barat. Artinya, kepemimpinan juga berkaitan dengan kapasitas manajement sesorang yang ini juga berhubungan dengan warisan ke empat, yakni keorganisasian. Kebanyakan dari pemimpin sarekat buruh berpengalaman di Belanda. Ia mengetahui perorganisasian dan struktur masyarakt buruh di Belanda yang dibawa ke Indonesia.

Kelima, pembagian kelas, suku dan agama. Sarekat buruh Indonesia berhati-hati merekrut anggota. Keterlibatan anggota di sarekat buruh lebih menekankan kepada latar belakangnya. Ini dilakukan tidak lepas dari sikap dendam terhadap kaum penjajah yang berasal dari Eropa.

Judul                : Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa

Masa Kolonial

Penulis             : John Ingleson

Penerbit           : Komunitas Bambu, Jakarta

Cetakan           : 2013

Tebal               : xvi + 424 hlm

ISBN                : 978-602-9402-29-

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun