Mohon tunggu...
HIda Nurhidayat
HIda Nurhidayat Mohon Tunggu... Human Resources - Mendidik dengan Cinta dan Kerja dengan Kerinduan

- Sekte' Romantisme--Tinggal di Lebak - Banten - Mencoba berbisik ke masa depan....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Strategi Mencegah dan Menanggulangi Tinggal Kelas dan Putus Sekolah di Sekolah Dasar

10 Oktober 2017   00:43 Diperbarui: 10 Oktober 2017   01:23 9070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada banyak asumsi terkait dengan siswa tinggal kelas dan putus sekolah diantaranya dikarenakan siswa tersebut bodoh, malas, nakal dan lain-lain, bahkan ada yang menganggap bahwa orang tuanya terlalu apatis dalam mendidik anak di lingkungan rumahnya. Namun asumsi ini tidak bisa dijadikan kebenaran sebuah jawaban, karena tidak dilakukan identifikasi dan kajian permasalahan kausalitas secara ilmiah.

Penulis disini mencoba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tinggal kelas dan putus sekolah di sekolah dasar dengan kajian metode deskripsi dan keterhubungan empirisme.keterhubungan empirisme ini relevansinya dengan pengalaman penulis sewaktu menjadi wali kelas kelas VI (enam) lebih dari sepuluh tahun di sekolah dasar.

Berdasarakan pengalaman penulis, kebanyakan siswa terutama siswa yang putus sekolah itu terjadi di usia siswa kelas V (lima) dan kelas VI (enam). Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggal kelas dan putus sekolah di sekolah dasar diantaranya:

a. Lemahnya Motivasi Orangtua Siswa

Pembiaran orang tua terhadap anaknya sama dengan tidak ada motivasi apapun terhadap tingkahlaku belajar anak baik ketika di sekolah maupun di rumah. Hal ini tentu akan membuat si anak merasa bebas dalam menentukan keputusan-keputusan subjektifnya. Si anak akan berpikir, mau sekolah atau tidak, mau belajar atau tidak, ia memiiki pilihan yang bebas.

b. Tingkat Kemiskinan dan Rendahnya Tingkat Pendidikan Orang Tua Siswa

Terutama di daerah-daerah tertinggal seperti di tempat penulis bertugas, mayoritas mata pencaharian orang tua siswa bertani, berternak dan menjadi buruh lepas. Orang tua yang bermata pencaharian berternak biasanya sudah menyuruh  anaknya yang di usia 9 tahun ke atas sudah bisa membantu orang tuanya selepas pulang sekolah. Kalau orang tua siswa itu punya peternakan kambing, jelas kambing itu harus dikeluarkan dari kandangnya untuk diberi makan sekitar jam 11(sebelas) siang hari, sedangkan anaknya yang kebetulan sekoah dasar jam  pulang sekolahnya sekitar jam 12 (dua belas). Di perkampungan, peternakan ayam, kambing dan kerbau hampir semuanya liar, sehingga anak harus punya waktu untuk menggembala hewan-hewan ternak tersebut. Terkadang ada juga orang tua siswa yang marah-marah kepada pihak sekolah karena keluar sekolah terlalu siang, sedangkan anaknya harus segera menggembala ternakannya.

Sedangkan orang tua yang bermata pencaharian buruh lepas, biasanya mengharapkan anaknya yang seusia sekolah dasar untuk mengasuh adiknya yang masih kecil-kecil di rumah. Akhirnya, karena sering disuruh mengasuh adik-adik kecilnya si anak tersebut sering tidak masuk sekolah.

Kondisi-kondisi di atas sudah barang tentu berimplikasi pada anak tidak bisa belajar dengan baik, terutama pengembangan belajar di rumah, sehingga anak tersebut ketinggalan dalam pelajarannya dan tidak percaya diri, akhirnya karena nilai-nilainya di bawah grade yang telah ditetapkan di sekolah, maka anak tersebut pada akhir tahun tidak naik kelas. Pengaruh ketidakpercayaan diri itu juga sangat berpotensi  bagi anak untuk memutuskan putus sekolah.

c. Lemahnya Hubungan Komunikasi Guru Dengan Orang Tua Siswa

Keberhasilan pendidikan dan pengajaran ditentukan juga oleh ikatan hubungan yang kuat antara pihak sekolah, pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat di dalamnya adalah para orang tua siswa. Tidak dibangunnya komunikasi dan hubungan yang erat antara pihak sekolah dengan orang tua siswa akhirnya tidak ada ruang dan upaya-upaya pencarian pemecahan masalah anak-anak didik dan juga terkait konsensus kemajuan sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun