Beberapa hari ini dia memang menunjukkan sikap yang tak seperti biasanya. Aneh, benar-benar aneh. Namun siapa yang tahu jika hal itu adalah bagian dari tanda-tanda kepergiannya. Andai saja aku bisa memahaminya dari awal Tuhan. Andai saja.
"Kirim foto selfie dong," Begitulah pesan singkatnya padaku malam itu.
"Apaan sih, ga ah kak," Balasku singkat.
"Buruan," Balasnya lagi.
"Mana dek?" Kirimnya lagi setelah aku tak membalas pesannya selama 1 jam.
Itulah pesan terakhir darinya yang bisa ku simpan dalam memori handphoneku. Iya, terakhir darinya. Dan hingga detik ini, aku tak berhenti menyesalinya karena mengabaikan keinginannya untuk melihat foto selfieku.
Ahhh, andai saja waktu bisa diputar kembali. Ini kak, foto selfieku. Bahkan akan ku kirimkan berapapun yang kau mau. Iya, andai waktu bisa diulang kembali.
Hingga detik ini, aku belum bisa mempercayai bahwa dia benar-benar tiada. Bagaimana bisa aku tak membaca dengan baik tanda-tanda kepergiannya. Ahh Tuhan, aku ingin dia kembali.
Malam itu, aku memang sangat sibuk dengan pekerjaanku. Banyak sekali yang harus ku selesaikan. Namun jika ku ingat kembali, foto selfie sejenak bukanlah hal yang sulit jika saat itu aku memprioritaskan dirinya. Iya, andai saja.
Paginya, aku mendapatkan sebuah pesan yang membuat jantungku seolah berhenti berdetak.
"Rif, kak Risa kecelakaan tadi malam, sekarang kritis," Begitulah pesan singkat yang dikirimkan Tsania.
Seketika ku telfon Tsania menanyakan bagaimana kronologi kecelakaan kak Risa dan kondisinya saat itu.
Setelah mendengar kondisi kak Risa yang kritis, aku langsung bertolak ke Malang. Iya, dengan hati yang sangat tidak tenang.
Kurang lebih setelah 30 menit perjalanan berlangsung, aku kembali  mendapatkan pesan singkat dari Tsania.