Mohon tunggu...
Bhege Widiyanta
Bhege Widiyanta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I am a college student and an assistant researcher at the Center for Religious and Cross-cultural Studies, Graduate School, Gadjah Mada University, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kyai Slamet; Pembangun Kesatuan Masyarakat Jawa Surakarta

7 April 2013   00:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:36 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


  1. Pengantar

Dalam masyarakat Jawa, kedatangan tahun baru 1 Sura (dalam kalander Jawa) tidak disambut dengan kemeriahan, melainkan dengan berbagai ritual dan upacara. Ritual atau upacara tersebut biasanya disebut “tirakatan” yang bentuk dan perwujudannya sangat beranekaragam, seperti: tidak tidur semalam suntuk, meditasi, atau berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap sakral, misalnya laut selatan, gunung, makam keramat, atau istana raja (kraton). Pembicaraan kali ini akan memusatkan perhatian pada ritual 1 Sura yang terjadi di Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Jawa Tengah.

Di Kraton Surakarta Hadiningrat pada malam tahun baru 1 Sura diadakan kirab (arak-arakan, pawai) pusaka (senjata) Kraton yang dipimpin oleh puluhan kerbau albino (kebo “bule”) yang bernama Kyai Slamet. Konon, kerbau Kyai Slamet merupakan hewan kesayangan raja yang dianggap keramat dan memiliki kemampuan magis. Di belakang kerbau Kyai Slamet, barisan kirab pusaka diikuti oleh para “putra sentana dalem atau priyayi” (kerabat kerajaan) dan “abdi dalem” (karyawan kerajaan) yang membawa puluhan pusaka kraton yang berwujud keris dan tombak, kemudian diikuti masyarakat Surakarta dan sekitarnya seperti Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Sragen dan Wonogiri, bahkan masyarakat yang berasal dari luar daerah, luar kota dan luar provinsi.


  1. Prosesi Kirab 1 Sura di Kraton Kasunanan Surakarta

Kirab pusaka tahun 2012 ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain diliput olehsebuah stasiun televisi dari Singapura dan diikuti oleh tokoh politik Yuzril Izra Mahendra,perbedaan jelas terlihat bahwa raja kraton Surakarta (Sinuhun Pakubuwana XII) tidak nampak dalam kirab. Padahal, sebagai raja, beliau berperan sebagai ketua adat dan memiliki tanggungjawab untuk memulai dan mengantarkan prosesi kirab pusaka. Hal ini terjadi karena masih ada konflik intern dalam kraton yang masih belum selesai sampai sekarang. Meskipun demikian, kirab pusaka tetap dilaksanakan tanpa restu dari sang raja.

Malam itu waktu menunjuk jam 00.20, kawanan kerbau Kyai Slamet yang berjumlah 9, mulai mengawali kirab pusaka yang akan menempuh jarak sekitar 4,5 kilometer, mengelilingi kraton. Kawanan kerbau Kyai Slamet kemudian diikuti oleh seorang pangeran yang membawa pusaka utama (berwujud keris), dan dibelakangnya, ada segerombol putra sentana dalem atau priyayi, sekumpulan prajurit kraton atau abdi dalem yang membawa sekitar 9 pusaka yang berwujud tombak dengan panjang lebih dari 5 meter. Ada informasi yang mengatakan, bahwa yang terlibat resmi dalam kirab ini (semua membawa obor) berjumlah 7000 sampai dengan 8000 orang.

Berdasarkan data yang dikumpulkan, ada banyak motivasi orang yang mengikuti kirab pusaka ini. Diantaranya; “ngalap berkah” (mendapatkan berkah) untuk kesejahteraan lahir dan batin, sukses dalam bisnis dan karir, untuk kesehatan dan macam-macam intensi yang lainnya. Orang-orang yang mengikuti kirab ini saling berebut berbagai macam atribut yang dipakai dalam kirab, misalnya; bekas makanan dan minuman kerbau Kyai Slamet, janur, bulu kerbau Kyai Slamet dan yang paling diminati adalah feces (dalam bahasa Jawa disebut “tlethong”) dari kerbau Kyai Slamet.

Menurut salah satu warga (bernama bapak Hadi Sayitno) yang tinggal di kelurahan Baluwarti (sebuah desa yang berada di dalam benteng kraton) , mengatakan bahwa pada hakekatnya1 Sura adalah saat yang baik bagi orang Jawa untuk hening (“meneng” dan “meneb”), saat untuk berefleksi, merenungkan kehidupan. Kerbau Kyai Slamet yang berada di paling depan kirab menjadi “pepeling” (pengingat) kepada orang Jawa untuk bercermin darinya. Bercermin pada binantang dengan segala nafsu binantangnya. Pada point ini orang Jawa diajak untuk mengendalikan hawa nafsunya. Peristiwa 1 Sura selain saat yang tepat untuk hening dan berefleksi, juga menjadi waktu yang relevan untuk bersyukur. Kondisi dan suasana1 Sura sangat tepat untuk membangun syukur dan sikap batin yang reflektif.

Satu hal yang menarik adalah, bapak Hadi Sayitno mengatakan bahwa kirab pusaka1 Sura ini adalah sebuah ritual “budaya” dan membedakan dengan ritual “agama”. Rupanya beliau membuat pembedaan antara budaya dan agama, artinya menjadikannya problematik serta menarik untuk kita teliti penyebab pembedaan itu. Benarkah ritual 1 Sura ini merupakan sebuah ritual budaya dan bukan bentuk dari ritual keagamaan? Bagaimana ritual budaya ini dipahami sebagai bentuk ritual atau perwujudan keagamaan? Telaah mengenai hal ini akan dilihat dengan teori-teori agama dari para tokoh, khususnya menggunakan teori Emile Durkheim dan teori-teori yang lainnya; Karl Marx, Max Weber, serta Sigmund Freud, William James dan Mircea Eliade, serta sedikit dari Taylor dan Frazer. Masalah yang akan dilihat dalam hal ini terutama, menggunakan teori dari Durkheim; bagaimana sentimen kemasyarakatan dalam batin manusia Jawa, yang berupa suatu kompleksitas perasaan yang mengandung rasa terikat, kesatuan, bakti, cinta, dan perasaan lainnya terhadap masyarakat Jawa di mana ia hidup, terutama pada kraton yang diyakini sebagai “pusat kehidupan” masyarakat Jawa.


  1. Emile Durkheim: pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat

Berbicara mengenai agama, Durkheim mengemukakan pendapatnya melalui teori sentimen kemasyarakatan. Teori ini menyatakan bahwa agama yang permulaan itu muncul karena adanya suatu getaran, suatu emosi yang ditimbulkan dalam jiwa manusia sebagai akibat dari pengaruh rasa kesatuan sebagai sesama warga masyarakat . Dalam kirab pusaka 1 Sura, masyarakat memiliki keyakinan bahwa mereka merupakan satu kesatuan. Kesatuan di sini tidak dimaknai sebagai kesatuan wilayah atau “budaya”, melainkan kesatuan yang tak lepas dari konsep akan “manunggaling kawula lan Gusti”. Manunggaling kawula lan Gusti adalah konsep mistisisme orang Jawa (pengaruh dari Hindhuism) yang meyakini adanya kesatuan spriritual atas segala makhluk . Peristiwa “ngalap berkah” merupakan keinginan masyarakat (kawula) untuk senantiasa mengalami kesatuan dengan “Gusti” (disimbolkan oleh raja, bisa berarti Tuhan). Semakin dekat dengan raja, dengan mendekati atribut raja (Kyai Slamet), maka semakin dekat pula dengan Tuhan. Maka tak heran apabila masyarakat saling berebut atribut terutama feces yang keluar dari kerbau Kyai Slamet untuk hal tersebut.

Apakah masyarakat hanya menginginkan kesatuan? Ketika mencari informasi dalam kirab tersebut, ada beberapa orang yang menjawab bahwa dia menginginkan kesuksesan dalam bisnis. Sejalan dengan pemikiran Mark, hal itu merupakan bentuk alienasi yang muncul dalam ekspresi dari ketidakbahagiaan yang lebih dasar, yang selalu bersifat ekonomi . Ternyata masyarakat tidak melulu menginginkan kesatuan spiritual, namun juga menginginkan wujud nyata yang lebih material, yakni kesuksesan dalam bisnis. Sejalan dengan Karl Marx, Max Weber juga memiliki kemiripan argumentasi. Menurut Weber, “agama” justru menjadi penyebab akan adanya “semangat kapitalisme” yang didefinisikan sebagai gagasan dan kebiasaan yang mendukung pengejaran yang rasional terhadap keuntungan ekonomi . Meskipun hal ini tidak sepenuhnya sejalan dengan pemikiran Weber karena masih jauh dari “rasionalitas” seperti yang dimaksudkan oleh Weber.

Kembali lagi pada pokok bahasan Emile Durkheim. Durkheim mengatakan bahwa “agama” muncul akibat adanya suatu getaran jiwa, atau emosi religiositas yang timbul dalam alam jiwa manusia karena pengaruh suatu sentimen kemasyarakatan. Dalam konteks ini, kirab pusaka 1 Sura menjadi sarana untuk memelihara sentiment masyarakat tersebut; memelihara rasa kesatuan, rasa cinta, rasa syukur. Apabila perasaan-perasaan tersebut tidak dipelihara, maka sentimen kemasyarakatan itu menjadi lemah. Hal inilah yang terjadi dalam kirab pusaka 1 Sura, di mana masyarakat berkumpul bersama dalam jumlah yang banyak untuk mengobarkan sentiment tersebut. Dan objek yang menjadi tujuan dari rasa sentiment masyarakat ini hadir dalam wujud kerbau Kyai Slamet.

Weber mencatat bahwa objek itu (Kyai Slamet) ada karena terjadinya satu peristiwa secara kebetulan di dalam sejarah kehidupan suatu masyarakat masa lampau menarik perhatian orang banyak di dalam masyarakat tersebut. Objek yang menjadi tujuan emosi keagamaan juga objek yang bersifat keramat. Maka objek lain yang tidak mendapat nilai keagamaan dipandang sebagai objek yang tidak keramat (profane). Objek keramat sebenarnya merupakan suatu lambang masyarakat. Dalam hal ini, tidak berlebihan apabila Kyai Slamet disebut sebagai lambang atau totem. Kyai Slamet menjadi wujud konkret atas prinsip atau keyakinan akan berkah, suatu wujud abstrak yang masih perlu dikonkretkan, bahkan sampai wujud material (ekonomi). Dan objek keramat (Kyai Slamet) akan menjelaskan upacara, kepercayaan, metodologi. Ketiga unsur itu menentukan bentuk lahir dari suatu agama Jawa.

Berbeda dengan William James yang mendefinisikan agama melalui pendekatan psikologis dan ini berkebalikan dengan Durkheim, dia mengatakan bahwa agama sebagai yang berkaitan dengan rasa ketergantungan, berasal dari rasa takut, diidentifikasi dengan rasa ketakterbatasan, dan sebagainya dan ini yang dia sebut sebagai mistisisme . Berkebalikan dengan James, Durkheim mengatakan dalam teorinya bahwa agama adalah sesuatu yang terutama sosial, bukan psikologis. Agama muncul karena manusia hidup di dalam masyarakat, dengan demikian mengembangkan kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu sebagai akibat dari kehidupan kolektif mereka. Secara psikologis, orang-orang yang mengikuti kirab pusaka 1 Sura tidak mengalami rasa takut dan terbatas, melainkan sejalan dengan Durkheim, kirab pusaka 1 Sura mengikat dan mengintegrasikan orang-orang menjadi satu dengan mempersatukan mereka di sekitar seperangkat kepercayaan, nilai dan ritual bersama. Dengan demikian, agama membantu memelihara masyarakat atau kelompok sebagai suatu komunitas moral.

Sejalan dengan pemikiran Emile Durkheim yang memandang agama secara lebih positif (sebagai integrator masyarakat), Mircea Eliade berpendapat bahwa agama haruslah dipandang sebagai sesuatu yang independen. Agama tidak perlu dikait-kaitkan dengan prinsip antropologi, psikologi, dan ekonomi. Dalam hal ini Eliade memberi kritik terhadap teoretikus-teoretikus seperti Tylor, Frazer, Freud, dan Marx terlalu reduksionis dan negative dalam memandang agama . Terutama dalam pandangan Frazer yang memulai teorinya mengenai terjadinya agama dengan menjelaskan mengenai magis.Eliade menolak pendapat dari Frazer ini. Bagi Eliade agama bukan imitasi, dan dalam konteks kirab pusaka 1 Sura, imitasi tidak terjadi. Eliade mengajak untuk melihat kirab pusaka 1 Sura dalam pemahaman pelakunya atau “orang beriman”. Dan kirab pusaka 1 Sura memberi tanda akan hal itu, yakni adanya sentiment religious yang reflektif.

Durkheim rupanya juga tidak sependapat dengan asumsi Tylor dan Frazer yang menyatakan bahwa pemahaman akan fenomena alam yang didasari oleh kekuatan supernatural. Bagi Durkheim, dasar dari agama bukanlah kepercayaan terhadap kekuatan supernatural, melainkan konsep tentang Yang Sakral. Pada masyarakat beragama, terdapat dua konsep yang terpisah, yaitu Yang Sakral dan Yang Profan. Yang sakral adalah sesuatu yang tinggi, agung, berkuasa, dihormati, dalam kondisi profan ia tidak tersentuh dan terjamah. Sementara, Yang profan adalah kehidupan sehari-hari yang bersifat biasa saja. Yang sakral berada dalam masyarakat, sementara yang profan ada dalam konteks individu . Jelas bahwa Kyai Slamet menjadi Yang Sakral (totem), yang mempersatukan masyarakat dalam perjumpaan massal dalam kirab pusaka 1 Sura dan peristiwa selain hal itu disebut sebagai Yang Profane.

Kesakralan Kyai Slamet adalah mutlak dalam masyarakat Jawa Surakarta. Karena pada kenyataannya, kesakralannya dapat dirasakan oleh tiap-tiap individu, terutama dalam perayaan dan ritual-ritual keagamaan, seperti yang terjadi dalam kirab pusaka 1 Sura. Pada kirab pusaka 1 Sura, Kyai Slamet sebagai tokoh pusat datang menyusup dan mengatur kesadaran diri manusia. Saat prosesi kirab pusaka dimulai dan berlangsung, perasaan tentram dan tenang merasuk ke dalam tiap individu, maka saat itu, individu kehilangan pribadinya dan masuk ke dalam kerumunan massa Yang Sakral. Mereka mulai takjub dan ingin melihat Kyai Slamet dan menginginkan berkah darinya, melalui atribut yang dipakainya.

Implikasi dari keyakinan terhadap kesakralan Kyai Slamet itu selanjutnya mampu menjelaskan bagaimana masyarakat membangun sistem-sistem kepercayaan tertentu melalui metode asosiasi hubungan-hubungan antar konsep yang berpusat pada Kyai Slamet sebagai Yang Sakral. Termasuk di dalamnya adalah sistem kepercayaan terhadap roh atau jiwa. Roh yang ada dalam diri seseorang merupakan representasi ketergantungan mereka terhadap masyarakat. Roh bertugas untuk memberitahukan kepada individu untuk mematuhi kewajiban-kewajiban moral terhadap masyarakat. Roh yang menjadi representasi masyarakat dalam diri individu merupakan Yang Sakral sementara badan yang bertugas memenuhi kebutuhan individu saja adalah Yang Profan. Selanjutnya hubungan asosiatif dikembangkan lebih lanjut mengenai konsep roh yang bersifat abadi. Dari sinilah asal dari penyembahan terhadap Tuhan. Roh-roh yang mampu mengatur alam pada akhirnya dituntut oleh masyarakat sebagai representasi kepribadian tertentu, yang superior, yang disebut Tuhan.

Namun bagi Durkheim, kepercayaan terhadap totem-totem yang pada akhirnya menjadi Tuhan itu bukanlah hal yang paling penting dalam agama.. Yang paling penting adalah perasaan sakral yang dihasilkan dari ritual-ritual keagamaan. Hal ini berarti bahwa pemujaan-pemujaan yang ada dalam ritual-ritual atau perayaan-perayaan dalam kirab pusaka 1 Sura bertujuan bukan untuk totem atau Tuhan, melainkan untuk menjaga individu-individu agar tidak melupakan arti penting masyarakat dan memberikan perasan bahwa Yang Sakral adalah sesuatu yang berbeda dan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Yang Profan.

Dari sini, terjawab sudah arti penting ritual-ritual keagamaan dari kirab pusaka 1 Sura. Kirab pusaka 1 sura dapat memberi arti penting suatu masyarakat dalam diri, sekaligus memberi perasaan yang transenden, yang tidak terjamah, yang tidak tercapai dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat individual bagi masyarakat. Hal ini juga menjelaskan mengapa kraton Surakarta dan raja masih dihormati oleh masyarakat. Kraton Surakarta dan raja sudah mengorbankan diri mereka untuk kepentingan masyarakat. Mereka menjadi contoh bagi masyarakat untuk meninggalkan Yang Profan karena Yang Sakral berada di kepentingan masyarakat.

Penjelasan di atas juga menjadi alasan bagi Durkheim untuk menolak teori yang diungkapkan oleh Sigmund Freud, dan dalam hal ini tidak relevan untuk melihat fenomena kirab pusaka 1 Sura. Bagi Durkhem, menjadi sia-sia apabila mencoba memahami individu hanya dengan memahami insting biologis, psikologi individu atau kepentingan pribadi seperti yang dijelaskan oleh Freud. Untuk memahami agama, ia berpaling dari studi mengenai individu, dan menyatakan bahwa ide tentang masyarakat adalah roh agama. Jika Freud menggunakan dimensi dorongan bawah sadar kepribadian dan aspek dorongan biologis dalam menjelaskan perilaku manusia , maka Durkheim menggunakan dimensi interaksi sosial dan kemasyarakatan. Baginya, individu tidak akan pernah bisa lepas dari masyarakat. Sejak lahir, manusia telah melakukan kontak, berhubungan dan berinteraksi dengan masyarakat, yaitu orangtua dan keluarganya. Dapat dipastikan bahwa seorang individu tidak akan pernah bisa bertahan tanpa adanya masyarakat. Bahkan, tanpa masyarakat, maka tak ada satu hal yang akan muncul dalam kehidupan manusia.


  1. Kesimpulan

Dapat disimpulkan di sini bahwa teori Durkheim sebenarnya menekankan komponen ritualistik agama sebagai sesuatu yang paling penting. Karena melalui ritual, simboliasasi akan adanya kekuatan yang mengikat masyarakat dapat dilihat dan dipahami. Meskipun Durkheim adalah seorang ateis yang berpendapat bahwa konsep-konsep dan ide-ide tentang agama secara empiris adalah palsu, namun ia menyetujui agama karena sifatnya yang mengintegrasikan masyarakat. Pandangannya mengenai peranan agama di dalam masyarakat membuatnya khawatir ketika dilihatnya, bahwa agama mati perlahan-lahan dalam dunia modern di bawah pengaruh ilmu dan teknologi modern.

Kyai Slamet dan ritual kirab pusaka 1 Sura menjadi simbolisasi akan adanya kekuatan yang mampu mengumpulkan dan menyatukan masyarakat. Kesatuan masyarakat yang ditunjukkan bukan dari kesatuan regional atau budaya, melainkan lebih dari itu, kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan religious yang menjadi moral masyarakat. Kyai Slamet telah berhasil mengintegrasikan masyarakat yang tidak pernah terkikis meskipun pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi kian berkembang dewasa ini.

Seperti yang telah diketahui dari pembahasan di atas, inti dari pandangan Durkheim terletak di dalam klaimnya bahwa agama adalah sesuatu yang sungguh bersifat sosial. Ia menegaskan bahwa meskipun manusia sebagai individu mampu membuat pilihan dan keputusan, namun manusia melakukannya di dalam kerangka sosial yang diberikan pada manusia sejak lahir. Dalam hal ini masyarakat Jawa Surakarta dan sekitarnya memiliki keyakinan yang tidak mereka buat sendiri, mereka menggunakan instrumen yang tidak mereka temukan sendiri, perbendaharaan pengetahuan dan keyakinan terhadap Kyai Slamet dipindahkan pada setiap generasi yang tidak mereka kumpulkan sendiri. Kyai Slamet dan ritual kirab 1 Sura adalah bagian yang paling berharga dari perbendaharaan social dalam masyarakat Jawa Surakarta. Ia melayani masyarakat dengan menyediakan sejak masa pertumbuhan berupa ide, ritual dan sentimen yang membimbing kehidupan setiap orang yang ada di dalamnya.

Persoalan ritual kirab 1 Sura membawa pada inti teori Durkheim. Dalam penjelasan tentang agama, Durkheim menganggap dirinya mampu pergi ke bawah permukaan sesuatu. Dalam pendekatan intelektualis, ide-ide dan kepercayaan sisi spekulatif dari agama menurut Durkheim adalah kunci untuk menjelaskan kebudayaan yang lain. Hakikat agama yang sebenarnya tidak ditemukan di dalam permukaan tetapi di bawahnya, seperti yang ditunjukkan dengan jelas oleh Kyai Slamet dan kirab pusaka 1 Sura.Nilai-nilai kunci dari kirab pusaka 1 Sura terletak di dalam upacara di mana ia menginspirasi dan memperbarui kesetiaan individu kepada kelompok. Ritual-ritual ini kemudian menciptakan hampir sebagai sebuah renungan, kebutuhan akan sesuatu jenis simbolisme yang mengambil bentuk ide tentang kekuatan-kekuatan Yang Sakral (jiwa atau Tuhan). Apalagi jika masyarakat Jawa Surakarta saat ini benar-benar masih membutuhkan ritus-ritus semacam itu untuk bertahan dan berkembang. Maka, tak akan pernah ada suatu komunitas tanpa suatu agama atau sesuatu yang serupa untuk mengisi tempatnya, artinya; tidak akan ada masyarakat Jawa Surakarta tanpa Kyai Slamet dan Kirab pusaka 1 Sura.

Kesimpulan lain yang dapat dibuat adalah; meskipun ide tentang agama dianggap salah atau mustahil oleh beberapa orang, namun perilaku agama masih sangat banyak hidup di masyarakat yang mendukungnya. Ide-ide agama dapat dipertanyakan, tapi ritual agama atau sesuatu yang sangat serupa dengannya pasti dapat bertahan terus. Masyarakat tidak bisa hidup tanpa upacara, karenanya agama juga akan bertahan terus di tengah arus-arus yang menggerusnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun